Saya selalu menikmati pemandangan beragam ketika naik kereta api di Jawa: pohon, pematang sawah, bukit dan hutan, serta tambak ikan. Saya juga mengagumi jembatan bajanya yang anggun dan kokoh, terowongannya yang menakjubkan, dan stasiun-stasiun bergaya arsitektur klasik warisan Belanda.
Setelah kemerdekaan, banyak jalur kereta api mati. Banyak stasiun hilang atau beralih fungsi. Tapi, secara umum, sistem perkereta-apian bikinan kolonial Belanda itu masih bertahan. Bahkan belakangan membaik.
Lama mengalami masa suram, kereta api berubah dalam beberapa tahun terakhir. Reformasi mencolok terjadi di masa kepemimpinan Ignasius Jonan, kini Menteri Perhubungan.
Pengelolaan kereta api kini lebih profesional. Jadwal lebih tepat. Sistem pembelian tiket lebih baik, bahkan bisa lewat internet maupun telepon genggam. Stasiun lebih bersih dan rapi, lengkap dengan café, restoran dan pasar swalayan modern.
Tak ada lagi calo yang berkeliaran di stasiun. Tak ada pedagang asongan dan kakilima baik di stasiun maupun dalam kereta api. Tak ada penumpang yang berdiri atau tidur di gang dan sambungan gerbong; apalagi masuk lokomotif dekat masinis, yang dulu bisa dilakukan dengan ongkos sebungkus rokok.
Kereta komuter di sekitar Jakarta bahkan terkesan lebih modern lagi. Sistem tiket dan pengecekannya memakai kartu elektronik seperti di New York dan Paris. Meski masih sangat padat menyesakkan ketika jam sibuk, saya tak bisa lagi naik di atap KRL seperti dulu.
Tak hanya dalam aspek layanan, Perusahaan Kereta Api kini juga dalam proses mengembalikan dan memulihkan aset-asetnya yang beralih fungsi. Bangunan liar digusur dan lahan terbengkalai dimanfaatkan kembali.
Jonan membawa perombakan besar dalam manajemen kereta api. Dia sukses membangun “corporate culture” baru yang lebih profesional di kalangan direksi maupun karyawan. Perusahaan ini juga mulai membukukan laba serta berencana menghidupkan kembali rute-rute yang mati.
Itu bukan sukses kecil. Reformasi perkereta-apian meningkatkan kepercayaan pengguna dan rasa percaya diri di kalangan pengelola. Bahkan lebih jauh dari itu, menyumbang optimisme dan kebanggaan bangsa, di tengah frustrasi kita terhadap buruknya banyak layanan publik.
Tapi, ada harga yang harus dibayar dari berbagai hal yang nampak “maju” dan “modern” itu. Tiket kereta api antar kota kini sangat mahal; beberapa rute bahkan mendekati ongkos pesawat. Porsi layanan kereta ekonomi, yang tiketnya juga tidak murah, terus dipersempit.
Kereta api kini menjadi jenis transportasi yang elitis dan terbatas. Bukan hanya orang miskin tak bisa menjangkaunya, kapasitas angkut kereta juga mengecil akibat disiplin ketat jumlah penumpang sesuai jumlah kursi.
Ketika kereta api menjadi elitis dan terbatas, kecil peluangnya memecahkan masalah kemacetan dan pemborosan energi di jalanan beraspal. Sebagian besar orang miskin atau berpendapatan sedang-sedang saja, akhirnya harus memilih naik bus.
Penggusuran kakilima dan pedagang asongan, yang dilakukan dengan keterlibatan polisi dan tentara, memperlihatkan rendahnya empati pada sektor informal dan usaha kecil.
Elitisme kereta api bukan semata kesalahan Jonan. Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, juga menanggung dosa. Mereka terjebak paradigma yang keliru dalam pengelolaan layanan publik: “jika ingin layanan bagus, konsumen harus membayar lebih mahal.”
Warga negara tidak bisa direduksi sekadar menjadi konsumen. Layanan publik tidak semestinya dikelola dengan cara pikir swasta. Bukan profit yang menjadi tolok ukur utama sukses badan usaha milik negara atau kota, melainkan maslahat publik.
Paradigma layanan publik semestinya mengambil prinsip: “bagus tapi terjangkau”. Orang miskin bisa meraihnya, sementara yang kaya senang memakainya. Ini juga mengurangi kecenderungan segregasi sosial yang potensial memicu konflik.
Prinsip “bagus tapi terjangkau” mencegah perusahaan kereta api membukukan untung. Tapi, haruskah layanan publik diperlakukan sebagai sumber pendapatan negara? Bukankah, jika perlu, layanan publik “boleh merugi” alias disubsidi?
Subsidi bukan konsep yang serta-merta buruk. Banyak negara, bahkan yang kapitalis sekalipun, mensubsidi transportasi publik.
Subsidi itu harus dipandang sebagai investasi pemerintah untuk menyelenggarakan sistem transportasi massal yang efisien. Pemerintah akan diuntungkan dari ancaman ekonomi biaya tinggi serta kerusakan lingkungan alam akibat kemacetan dan pemborosan energi. Sistem yang berkeadilan serta jauh dari kesan diskriminatif juga menguntungkan pemerintah dalam pembangunan modal sosial serta harmoni sosial.
Jika harus memilih, saya lebih suka sistem transportasi yang “kumuh” tapi berkeadilan dan ramah lingkungan ketimbang “modern” tapi zalim serta merusak lingkungan.
Tapi, sebenarnya, hanya pemerintah jahat yang menyodori warga dengan pilihan simalakama seperti itu.