Desa Pulau Tiga di Natuna, Kepulauan Riau, bukan desa yang terlalu istimewa. Namun, saya senang mengunjunginya. Desa itu berada di pinggir pantai sebuah selat.
Dari laut, tampak jejeran rumah yang rapi, dengan cat aneka warna: biru, kuning, ungu, dan pink. Dari dekat, konstruksi kayu untuk tiang dan dinding tampak dikerjakan dengan rapi. Beberapa fondasi menancap ke pasir laut. Sebagian atau seluruh bagunan rumah ada di atas laut. Ruang antar-rumah menjadi tempat sandar perahu, atau arena bermain anak-anak yang berenang dan menyelam.
Desa Pulau Tiga seperti sebuah Venesia kecil. Kota wisata terkenal di Italia itu dibangun di atas air.
Di banyak pulau kecil Indonesia, kampung di atas air bukanlah pemandangan aneh. Terutama jika kita mengunjungi kampung-kampung Bajo, suku laut yang terkenal. Laut adalah ruang hidup mereka: bekerja, mencari nafkah, bermain, berinteraksi secara sosial.
Tak hanya di pulau kecil. Di pulau-pulau besar, pantai dan muara sungai umumnya menjadi pusat permukiman sejak zaman dahulu kala. Lihat misalnya Pontianak dan Samarinda; atau Semarang dan Surabaya. Bahkan, Jakarta adalah kota pantai yang paling padat.
Permukiman tepi pantai punya sejumlah keuntungan. Meski ada risiko badai dan gelombang laut, pantai adalah gerbang dari dan ke dunia luar. Ia gerbang hubungan ekonomi dan sosial. Bagi nelayan, pantai menjadi pintu terdekat ke tempat mencari nafkah.
Permukiman tepi pantai adalah keniscayaan negeri kepulauan seperti Indonesia, negeri dengan garis pantai terpanjang di dunia di kawasan tropis. Namun, dengan berbagai dalih terselubung, ada kecenderungan pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengambil jalan pilih kasih untuk menentukan siapa yang berhak memanfaatkan ruang ekonomi dan sosial kawasan pantai.
Kecenderungan seperti itu bukan model pembangunan maritim yang seharusnya dipromosikan pemerintahan Joko Widodo.
Di Batam, Kepulauan Riau, misalnya, pemerintah daerah mulai melarang nelayan miskin memiliki dan membangun rumah di pantai. Pemerintah memberikan subsidi pembangunan rumah jika rumah itu dibangun jauh dari pantai.
“Pantai bukanlah habitat tempat tinggal,” kata seorang pejabat setempat. “Rumah pantai berbahaya bagi manusia, karena terpaan angin dan gelombang.” Lebih dari itu, kata sang pejabat, pantai adalah milik publik, milik semua orang. Pantai, kata dia, tidak bisa dimiliki swasta atau perseorangan.
Bahwa pantai milik semua orang, benar belaka. Namun, pemerintah sendiri, tak hanya di Batam, sering tidak konsisten. Di berbagai kota dekat pantai, pemerintah justru merestui bahkan mendorong pembangunan rumah mewah di tepi pantai.
Bukan satu atau dua rumah, tapi real estate besar. Bukan cuma di pantai yang sudah ada, tapi menguruk pantai dan teluk untuk dijadikan lahan perumahan baru.
Di Bali dan Jakarta kini orang sedang meributkan proyek reklamasi: pengurukan pantai dan pembuatan pulau-pulau untuk perumahan, perkantoran, hotel, apartemen, dan kawasan rekreasi sekaligus. Makassar dan Manado juga melakukan hal serupa. Mereka berlomba mewujudkan kota pantai dengan sebutan mentereng: waterfront city.
Kawasan pantai kini dikapling menjadi milik swasta, yang sering menghalangi akses masyarakat, khususnya nelayan, ke pantai dan laut. Pantai bukan lagi milik publik; bukan lagi milik siapa saja. Untuk menikmati pantai, orang harus membayar mahal. Kawasan Rekreasi Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, adalah contoh paling klasik.
Diskriminasi yang telanjang. Dibungkus niat baik seperti “melindungi nelayan miskin”, pelarangan membuat rumah pinggir pantai sebenarnya adalah penggusuran terselubung. Tak hanya memicu kemiskinan lebih parah, tapi juga memperlebar jurang ketimpangan ekonomi dan sosial.
Tentu saja, membangun rumah di tepi pantai ada risikonya. Namun, nelayan tradisional umumnya memilih teluk atau selat yang teduh untuk tempat tinggal. Mereka paham akan risiko dan bagaimana mengurangi risiko.
Di pantai-pantai yang landai, nelayan juga umumnya tidak membangun rumah langsung di pinggir pantai. Pantai tetap milik bersama, menjadi tempat bermain anak-anak, tempat bersandar kapal, dan tempat jual-beli hasil laut. Di banyak pulau yang belum tercemar cara berpikir serba uang, pantai masih milik siapa saja.
Kampung nelayan tepi pantai memang umumnya terkesan kumuh dan tidak sehat. Tapi, itu bukan alasan untuk menggusur mereka. Jika benar-benar peduli, pemerintah bisa membantu menata kampung nelayan lebih rapi, aman, dan sehat.
Problem kemiskinan tetap ada, meski kita enggan melihatnya. Meski kita berusaha keras menyembunyikannya ke bawah karpet “pembangunan” yang diskriminatif dan hipokrit.