Dulu keberadaan Partai keadilan Sejahtera (PKS) membawa pemikiran segar, bahwa pemerintahan di Barat perlu menanggalkan pandangan stereotip tentang partai Islam jika ingin membangun kesepahaman dan dialog yang bermanfaat dengan dunia Islam. Itulah kesimpulan Greg Fealy, pengamat Islam dan Indonesia dari Australian National University, dalam sebuah artikel di koran The Australian Maret 2005.
Fealy adalah salah satu pengamat Islam dan Indonesia yang saya sukai karena analisisnya yang jernih dan cenderung fair. Inti dari saran Fealy: dengan melihat contoh PKS di Indonesia, Barat/Australia harus menanggalkan pandangan stereotip tentang Islam dan partai berbasis Islam.
Pandangan Barat tentang Islam memang belum banyak beranjak dari kabut yang diciptakan Samuel Huntington: bahwa Islam adalah musuh dan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi.
Di mana-mana, partai Islam senantiasa dipandang sinis dan penuh curiga meski mereka telah mau tunduk pada prinsip demokrasi: mengikuti pemilihan umum. Kecurigaan tidak hanya datang dari orang nonmuslim di Barat, tapi bahkan juga dari orang muslim sekuler di negeri mayoritas Islam.
Di Aljazair, misalnya, Barat menolak kemenangan telak Front Penyelamatan Islam (FIS) dalam pemilu. Didukung oleh kelompok sekuler Aljazair, Barat mendukung pemberangusan FIS oleh rezim militer setempat. Di Turki, Barat dan kaum sekuler mendukung pemberangusan oleh militer partai-partai berbasis Islam seperti Refah dan Partai Keadilan.
Ini memang ironis. Barat dan kaum sekuler, yang mengaku demokratis dan mengagung-agungkan demokrasi, ternyata bersikap tidak demokratis. Saya banyak menulis tentang ini pada 1990-an dan menambahkan Partai Aksi Demokratik (SDA) di Bosnia sebagai contoh partai malang yang lain. Meski berbasis Islam, SDA yang dipelopori Alija Izetbegovic punya platform modern, pluralistik, dan toleran. Tapi, Izetbegovic dan partai itu tidak memperoleh dukungan setimpal dari Eropa ketika mereka dirangsek kaum nasionalis sempit Serbia, yang Kristen Ortodoks.
Orang Islam dikritik penuh kekerasan. Namun, jika mereka mencoba jalan nonkekerasan, lewat politik dan pemilihan umum, mereka tetap tak dipercaya. Kasus partai-partai Islam di Aljazair, Turki, Bosnia, dan Indonesia menunjukkan hal itu. Barat lebih condong mendukung rezim-rezim sekular otoriter/militeristik di Timur Tengah (dan Indonesia masa lalu) ketimbang memberi kesempatan kepada politisi Islam.
Cara pikir seperti itu, menurut Fealy, harus dikoreksi jika ingin membangun kesepahaman antara Islam dan Barat. Itulah inti pesannya. Barat dan Islam, betapapun punya kepentingan berbeda, bisa bebicara pada platform yang sama: demokrasi. Hubungan Barat dan Islam tidak segelap yang diramalkan Huntington jika ada kesediaan bersikap jujur dan fair dari kedua pihak.
Dulu saya pernah menulis ada bahaya dari tendensi masyarakat mengagungkan orang seraya mengabaikan partai. Pilkada langsung tetap butuh partai yang kuat dan bagus. Tanpa mesin partai, kandidat akan bertumpu pada iklan politik yang mahal atau dukungan media partisan; pada popularitas semata (artis/seleb); pada uang untuk membeli elite-elite lokal yang berpengaruh (kepala suku, agamawan).
Belakangan PKS menjadi bahan lelucon. Mahfud MD menyebut bahwa PKS melahirkan koruptor. Meski jumlah kader PKS yang tersangkut kasus korupsi tidak sebanyak partai lain, cita-cita bahwa partai ini membawa kebaruan nyaris kandas. Beberapa usaha untuk memperbaiki citra partai yang dilakukan Sohibul Iman, yang lumayan moderat, kerap ditutupi oleh tingkah polah Fahri Hamzah.
Saya percaya dalam demokrasi proses yang buruk membuahkan produk yang busuk. Disukai atau tidak, partai politik/parlemen menentukan undang-undang, memutuskan anggaran, dan memilih para komisioner (termasuk KPK). Saatnya berpikir lebih radikal: perbaiki sistem kepartaian. Siapa tahu, politisi baik yang kelak tampil akan mengembalikan kualitas pemilihan langsung kepala daerah.
Jika demikian adakah yang masih bisa diharapkan dari PKS?