Ingat Papua, ingat Freeport. Asosiasi itu demikian kuat sehingga banyak pejabat dan masyarakat Indonesia secara umum hanya melihat problem dan prospek Papua dalam kaitan dengan tambang emas besar itu.
Cara pandang seperti itu jelas mengerdilkan Papua. Namun, lebih dari itu, juga melukiskan semangat egosentris orang-orang di Jawa, tempat pusat pemerintahan bercokol.
Kita pada umumnya hanya peduli Papua dalam kaitan kepentingan nasional penguasaan tambang emas. Tapi, kurang peduli pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Berbeda dari pemerintahan sebelumnya, Presiden Joko Widodo memang memberikan perhatian lebih pada Papua. Presiden bertekad membangun infrastruktur besar, termasuk jalur kereta api, di pulau besar itu. Juga menjadikan Merauke sebagai pusat pangan dan energi nasional.
Namun, paradigma berpikirnya belum banyak berubah. Obsesi pada infrastruktur serta pertanian dan industri skala besar masih menunjukkan pandangan lama bahwa Papua hanyalah sumber potensi ekonomi yang bisa dieksploitasi secara nasional.
Tanpa penguatan modal sosial masyarakat lokal, infrastruktur besar hanya akan memfasilitasi eksploitasi alam Papua oleh para pendatang, baik dari luar pulau maupun negeri. Kerusakan alam, ketimpangan ekonomi, dan konflik sosial akan makin runyam.
Pendekatan sosial, budaya, dan antropologis masih jarang dipikirkan. Banyak pejabat di Jakarta atau masyarakat Indonesia barat gelap pengetahuannya tentang manusia Papua. Jika tahu pun, mereka umumnya memandang saudara Papua sebagai suku-suku terbelakang dan primitif.
Harus diakui, orang Papua memang beda dari umumnya suku-suku di belahan barat Indonesia. Tak hanya Papua. Suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Maluku juga tergabung dalam ras Melanesia yang memang berbeda dari orang Jawa atau Melayu Sumatera.
Pembangunan di sana tidak bisa disamakan dengan pembangunan di barat. Juga dalam pola kerja sama internasional. Model kerja sama ASEAN sebenarnya hanya bermanfaat bagi Indonesia barat. Perlu pendekatan lain di timur: Persekutuan Melanesia.
Dalam ras Melanesia tergabung sekitar 20 negara Pasifik, antara lain: Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Fiji, Samoa, dan Kaledonia Baru yang masih merupakan jajahan Prancis. Lima provinsi Indonesia timur juga masuk di situ.
Di bawah radar pengetahuan Jakarta, Oktober ini, Kota Kupang di Nusa Tenggara Timur akan menjadi tuan rumah Festival Budaya Melanesia. Festival akan disertai simposium ilmiah dan pemutaran film Melanesia. Juga kunjungan ke Museum Kupang, yang menyimpan tak kurang 7.000 koleksi khazanah budaya khas kepulauan Melanesia.
Pertukaran budaya dan ekonomi kawasan Melanesia akan menjadi sarana positif untuk pengembangan kawasan Indonesia timur, termasuk Papua. Dalam era desentralisasi, provinsi-provinsi di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur harus diperbolehkan, bahkan didukung, dalam kerja sama seperti itu.
Pekan lalu, lima provinsi timur tersebut juga meluncurkan Deklarasi Persaudaraan Melanesia Indonesia. Para deklarator menyatakan ini bukan gerakan politik, melainkan wadah kerja sama budaya dan ekonomi.
Bagaimanapun, baik festival maupun deklarasi itu melukiskan kebangkitan baru di kalangan bangsa-bangsa Melanesia. Haruskah Jakarta khawatir itu akan menjadi benih separatisme?
Memang ada konsekuensi politiknya. Juni lalu, persekutuan negara-negara Melanesia secara resmi mengakui keberadaan kelompok gerakan Papua Merdeka, meskipun baru memberinya status pengamat, bukan anggota.
Namun, seperti ASEAN tak membuat Aceh atau Riau merdeka, Persekutuan Melanesia juga tak perlu dikhawatirkan akan memicu separatisme, jika ditangani secara tepat.
Ancaman separatisme tak bisa hanya ditanggapi dengan pendekatan keamanan. Justru pendekatan keamanan itu yang selama ini melestarikan ketidakadilan, penindasan hak budaya, pelanggaran hak asasi, serta ketimpangan sosial-ekonomi, yang pada akhirnya melestarikan semangat memisahkan diri.
Jakarta harus menyadari Melanesia memang beda. Sebaliknya, daripada menindas, pemerintah pusat justru harus mendorong munculnya aspirasi dan identitas lokal. Memperkuat otonomi politik, termasuk cara-cara dalam membangun masyarakatnya.
Cara pikir sentralistik harus diakhiri. Cara pikir sempit bahwa Indonesia timur, khususnya Papua, hanya lumbung ekonomi nasional, bahkan lebih sempit lagi cuma sumber emas PT Freeport, harus disingkirkan.