Menjadi benteng terbesar kedua di Asia setelah Benteng Madras di India, Marlborough mewakili kekuasaan kolonial Inggris, salah satu imperium terbesar di dunia sepanjang sejarah. Dinding benteng ini hampir dua meter tebalnya. Ia masih berdiri kokoh membelakangi Samudra Hindia, hingga kini, meski gempa hebat dan tsunami pernah menghantamnya.
Inggris mengenal Bengkulu, di tepian barat Sumatera, sebagai Tanah Mati. Tak hanya karena gempa dan tsunami. Tapi juga karena rawan malaria karena letaknya dekat rawa pantai. Ratusan tentara Inggris tewas di situ, bukan oleh bedil dan meriam, melainkan oleh mikroba parasit yang dibawa gigitan nyamuk anopheles.
Itulah antara lain alasan Inggris, setelah bercokol 140 tahun di Sumatera, menukar Bengkulu dengan tanah jajahan milik Belanda di Semenanjung Malaka: Singapura.
Sebagai penguasa baru, Belanda tidak mengubah citra Bengkulu yang mematikan. Pemerintah kolonial mengasingkan Bung Karno ke situ dengan harapan malaria akan membunuhnya, atau setidaknya membuatnya jera memperjuangkan kemerdekaan. Tapi, kita tahu, itu tak berhasil.
Ratusan pejuang kemerdekaan, termasuk Bung Hatta dan Sjahrir, dibuang Belanda ke Digul, Papua, ribuan kilometer dari Bengkulu. Sebagian dari mereka juga tewas akibat malaria.
Malaria memang teror bagi manusia. Sebagai negeri kepulauan dengan puluhan ribu kilometer pantai berawa, Indonesia merupakan salah satu korban paling empuk penyakit itu.
Penyakit malaria dikenal sejak sejarah ditulis umat manusia. Pada paro pertama abad ke-20, malaria mewabah hampir di semua negara, membunuh dua juta manusia setiap tahun.
Perang besar-besaran melawan malaria sejak 1955 menurunkan ancaman penyakit mematikan ini. Tapi malaria tak pernah benar-benar menyerah. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sampai kini malaria masih mencabut nyawa sekitar setengah juta orang setiap tahun di seluruh dunia.
Pantaslah jika pekan lalu Penghargaan Nobel Kedokteran dianugerahkan kepada Tu Youyou, pahlawan perang melawan teror malaria. Mengabdikan puluhan tahun hidupnya untuk menemukan obat malaria, Youyou yang kini berusia 84 tahun adalah pemenang Nobel pertama dari negerinya, Tiongkok.
Youyou mematahkan arogansi ilmu kedokteran modern yang katanya semakin canggih, namun tak bisa mengurangi penderitaan jutaan manusia akibat sebuah penyakit kuno. Youyou bukanlah dokter. Bukan pula doktor. Nenek ini “hanya” ahli farmakologi yang mempelajari obat-obat tradisional Tiongkok.
Perang Indochina mengilhami temuan Youyou. Pada 1967 banyak tentara Tiongkok tewas dalam perang melawan Amerika itu. Bukan karena senjata, melainkan akibat keganasan nyamuk belantara Vietnam. Youyou menjadi salah satu anggota tim rahasia militer untuk menemukan solusi.
Pada masa itu, telah ada sedikitnya 240.000 senyawa obat di seluruh dunia yang diuji untuk melawan malaria. Tapi, tak ada yang sukses. Riset Youyou dimulai dari kajian kepustakaan naskah-naskah kedokteran kuno Tiongkok.
Dia menemukan bahwa sejak 400 Masehi, leluhurnya telah membuat ekstrak tanaman perdu Artemisia annua untuk melawan malaria. Setelah empat tahun berkutat di laboratorium dan meneliti secara saksama naskah kuno, barulah Youyou bisa memisahkan artemsinin, senyawa anti-malaria ampuh itu.
Artemsinin kini menjadi salah satu obat herbal Tiongkok yang populer. Belakangan juga diproduksi sebagai obat modern. Menghabiskan puluhan tahun menelisik naskah-naskah kuno, dan menerapkannya pada praktik pengobatan modern, Youyou berjasa menyelamatkan nyawa jutaan manusia.
Membaca kisah Youyou dan mengingat kembali Benteng Marlborough yang saya kunjungi lima tahun lalu, kita bisa menyadari betapa sia-sia kedigdayaan militer di hadapan jasad renik. Dan, betapa pongah ilmu kedokteran modern menyepelekan khazanah obat tradisional, yang sering kali murah, bahannya berlimpah, serta efektif menyelamatkan umat manusia.