Jumat, November 8, 2024

Krisis Rupiah dan Sesat Pikir Ekonomi

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
- Advertisement -

“Mau uang dibakar di jalanan; atau mau uang dipakai untuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur?”

Saya masih ingat kata-kata 15 tahun lalu itu, yang datang dari Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Ekonomi Kabinet SBY yang pertama.

Aburizal kala itu sedang membangun argumen pemotongan subsidi BBM. Pemotongan subsidi, kata dia, mengurangi pemakaian BBM untuk transportasi pribadi di jalanan dan mengalihkan uang untuk anggaran sosial.

Mantra “subsidi hanya dinikmati orang kaya” (karenanya oke saja kalau dipangkas) berhasil menyihir banyak orang. Tapi, dampaknya kita rasakan kini dalam lembeknya rupiah.

Dua periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sukses menaikkan harga BBM beberapa kali tanpa gejolak sosial berarti. Pemerintahan Joko Widodo melanjutkan argumen dan langkah yang sama, menggenapkan penghapusan subsidi BBM.

(Pertamina kini masih menjual bensin bersubsidi tapi sulit ditemukan di SPBU. Praktis semua orang kini pakai Pertalite atau Pertamax, non-subsidi).

Argumen model Aburizal didukung sebagian besar ekonom dan intelektual di luar pemerintah. Menurut mereka, kenaikan harga BBM akan membuat pemakaian bensin lebih efisien, mengurangi transportasi pribadi dan mendorong transportasi publik.

Dengan cara itu, kata mereka, kita juga akan membebaskan diri dari ketergantungan tinggi terhadap impor BBM. Impor itu menguras devisa dan bikin negara terancam defisit serta bangkrut.

Argumen-argumen itu tak hanya keblinger tapi juga terbukti keliru.

Kini, 10 tahun setelah Aburizal tak jadi menteri, uang masih tetap “dibakar di jalanan” dan negeri ini tetap terancam bangkrut akibat impor BBM.

- Advertisement -

Hari-hari ini rupiah jatuh akibat defisit current-account. Defisit itu dipicu terutama oleh defisit perdagangan karena tingginya beban impor BBM kita. Dan, beban impor BBM tinggi karena ledakan jumlah mobil dan motor pribadi sejak masa SBY.

Mengapa para ekonom cerdik pandai itu bisa keliru fatal?

Menurut saya, karena mereka melupakan pelajaran ilmu ekonomi tingkat dasar.

Pelajaran pertama: BBM (energi) itu kebutuhan pokok. Demand atau kebutuhan terhadap energi tidak elastis terhadap harga. Meski harganya tinggi, energi tetap dibeli orang.

Bagi mereka yang kaya, kenaikan harga BBM sampai Rp 10.000 per liter pun hanya seperti cubitan kecil. Itu tidak menurunkan konsumsi BBM mereka dan tidak membuat mereka beralih dari mobil pribadi ke transportasi umum.

Jumlah mobil pribadi meningkat sekitar 1 juta unit setiap tahun. Bengkak dari hanya 4,2 juta pada 2004 (SBY dilantik), menjadi 12,6 juta pada 2016 (era Jokowi).

Meningkat pula pemakaian BBM, khususnya bensin. Konsumsi bensin kita naik dua kali lipat lebih, dari 24 juta liter pada 2006 menjadi 55 juta liter pada 2017 (Sumber: BPH Migas).

Jelas sekali bahwa konsumsi BBM tidak turun karena kenaikan harga. Tujuan menghapus subsidi untuk memperkecil beban impor BBM tidak tercapai.

Pelajaran Kedua: BBM (energi) itu komoditas strategis. Fluktuasi harganya akan mempengaruhi hampir semua harga barang dan jasa. Pada subsidi BBM, bukan bensin atau solarnya yang penting. Tapi harganya yang rendah akan membuat sebagian besar barang dan jasa relatif rendah.

Mengatakan subsidi BBM hanya menguntungkan orang kaya adalah manipulatif, seolah kalau dicabut tidak masalah sama sekali.

Harga BBM yang rendah penting bagi orang miskin, bahkan bagi yang tak pernah beli bensin. Harga energi yang rendah menjamin harga barang dan jasa tetap terjangkau.

Sementara cuma cubitan kecil bagi yang kaya, kenaikan harga-harga akibat naiknya harga BBM ibarat palu godam yang memukul telak orang miskin.

Kenaikan pengeluaran kebutuhan pokok sebesar Rp.200 ribu per bulan cuma 0,2 persen bagi mereka yang berpenghasilan Rp.10 juta. Tapi itu mewakili kenaikan 40 persen bagi mereka yang berpenghasilan Rp.500 ribu.

Penghapusan subsidi menghukum orang miskin lebih parah ketimbang orang kaya.

Apalagi, orang berpenghasilan Rp.500 ribu tidak masuk kategori miskin versi BPS. Mereka tidak dibantu program jaring pengaman sosial yang diluncurkan pemerintah.

Tak heran jika kenaikan bertubi-tubi harga BBM sejak masa SBY telah memicu kesenjangan hebat. Kesenjangan ekonomi di akhir pemerintahan SBY mencapai angka terburuk dalam sejarah Indonesia.

Meski bertekad “membangun dari pinggiran, dari desa, dari yang marjinal”, pemerintahan Jokowi tidak secara signifikan mengurangi kesenjangan itu.

Di samping defisit, kesenjangan ekonomi adalah ancaman terbesar negeri kita sekarang, yang potensial memicu krisis sosial maupun politik.

Tapi, apa yang harus dilakukan jika tak menghapus subsidi BBM?

Memang, tentu saja tidak adil jika subsidi BBM banyak dinikmati orang kaya bermobil. Ini harus dikoreksi.

Ada beberapa cara untuk mengoreksi tanpa harus menghapus subsidi. Salah satunya: kenakan pajak yang tinggi pada pemilik mobil. Cukup tinggi untuk mengompensasi subsidi BBM yang mereka nikmati. Ini akan memberikan rasa keadilan. Yang harus menanggung beban adalah orang kaya, bukan sebaliknya. Di samping memberikan rasa adil, pemerintah bisa mendapatkan uang anggaran sosial dan infrastruktur.

Jika perlu, pajak mobil dinaikkan sampai tingkat orang malas membeli mobil baru atau membeli mobil kedua dan seterusnya.

Pengendalian jumlah mobil akan mengurangi beban impor BBM. Tapi, tentu saja harus diimbangi penguatan sistem transportasi publik secara fokus dan serius.

Jika sesederhana itu, mengapa tidak dilakukan?

Saya curiga ada bias orang kaya pada kebijakan pemerintah. Menghukum orang kaya dengan beban pajak yang lebih tinggi adalah pilihan politik berisiko tinggi. Lebih mudah menghukum orang miskin.

Lebih dari itu, membatasi jumlah kendaraan pribadi akan menyurutkan industri otomotif. Banyak pejabat tinggi punya kepentingan agar industri otomotif tetap berjaya, tanpa peduli risikonya. Ini problem laten kita dalam sistem transportasi yang mengimbas pada pemborosan bahan bakar.

Sejak zaman Orde Baru, sistem transportasi kita terlalu berat ke sistem privat (individu) ketimbang sistem transportasi umum. Dan itu belum banyak berubah sampai sekarang.

Pembangunan jalan-jalan tol pada masa Pemerintahan Jokowi, Trans-Jawa maupun Sumatera, melanjutkan tren privatisasi tadi.

Kita sudah melihat bagaimana Tol Cipularang, yang dibangun pada masa SBY, terbukti tidak membuat perjalanan Jakarta-Bandung lebih ringkas. Jalan-jalan tol lain akan mengalami hal sama.

Kemacetan kronis dan pemborosan bahan bakar kolosal kini terutama menghantui simpul-simpul seperti tol Cikampek-Merak.

Kemacetan dan pemborosan bahan bakar tak hanya memicu ekonomi biaya tinggi, tapi juga mengancam kebangkrutan negara seperti yang sekarang terjadi.

Impor BBM menyumbang defisit yang berakibat pada ambruknya rupiah.

Tapi, krisis rupiah mungkin tidak seberapa dibanding krisis cara berpikir yang manipulatif dan berpihak pada kepentingan elite.

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.