Dolar sudah di atas Rp 14.000. Harga minyak di atas 80 US$ per barel, diramalkan merangkak menuju 85 US$ per barel. Apakah kita sedang di tepi krisis ekonomi?
Mudah-mudahan tidak. Tapi, jika krisis kembali datang, semoga kali ini benar-benar kita manfaatkan untuk refleksi yang lebih mendalam dan fundamental.
Kita berpikir tentang ekonomi yang benar-benar fundamental.
Ketika krisis menyergap, banyak ekonom menawarkan solusi. Salah satunya adalah bailout sektor keuangan dan bantuan untuk bisnis besar. Kita ditakut-takuti dengan ancaman bahwa negara akan bangkrut jika bank tidak di-bailout, jika konglomerat tidak ditolong.
Itu pendekatan elitis dan egois khas kelas menengah.
Ekonomi kita ditopang oleh sektor usaha kecil dan informal, yang lebih tahan banting. Bukan oleh usaha besar yang pada dasarnya rapuh.
Bagi kita yang hidup di desa, negara tidak pernah bangkrut sepanjang ada makanan di kebun: singkong, sayur, buah.
Dalam situasi krisis, desa lebih tahan banting ketimbang kota.
Jika krisis datang, mudah-mudahan ada ekonom yang lebih lantang bilang bahwa kita tidak perlu mengemis ke World Bank dan IMF. Tidak perlu pula memberi subsidi kepada para bankir dan konglomerat seperti dulu (yang bebannya, ratusan triliun rupiah, masih kita tanggung sampai sekarang).
Jika krisis datang, kita serukan untuk kembali ke dasar (back to basic); hidup sulit bersama-sama; menengok apa yang kita punya tapi tak kita sadari: alam yang demikian kaya.
Memperkuat pertanian, kehutanan, perikanan secara substansial. Membangun desa dan pinggiran (tanpa lips service).
Kekayaan terbesar Kalimantan bukanlah sawit dan batubara, tapi keragaman hayati yang tertinggi di dunia setelah Amazon. Yang bisa kita manfaatkan dengan lebih bijaksana.
Ada puluhan jenis tanaman yang bisa diolah jadi atsiri, kebutuhan esensial dalam industri pangan, obat dan kosmetik dunia.
Kekayaan Papua bukanlah emas Freeport, tapi hutan bakau yang terpadat dan terluas di dunia.
Jika krisis tiba, jangan kuatir bahwa sebenarnya kita bisa membangun puluhan Maldives di Maluku saja, hanya dengan melestarikan terumbu karangnya.
Kita punya laut 2/3 dari luas daratan. Di samping punya stok tangkapan ikan yang kaya, Indonesia adalah jantung terumbu karang dunia. Punya coral terluas di dunia dengan keragaman biota terkaya di dunia tapi tak pernah kita tahu manfaatnya.
Yang punya nilai ekonomi tinggi (lewat wisata) bahkan hanya dengan tidak merusaknya.
Jika krisis tiba, berhentilah mengadopsi egoisme kelompok kelas menengah kota. Perluas cakrawala. Di antara semua krisis, krisis terburuk adalah krisis cara berpikir.