Umat manusia masih membutuhkan pengingat untuk menyemaikan keadilan dan perdamaian.
Jika kita memberi kuda makanan cukup banyak, sebagian remah-remah makanan itu akan menghidupi pula burung-burung gereja. Dalam ekonomi, “teori kuda dan burung gereja” itu dikenal pula sebagai “teori menetes ke bawah” atau trickle-down economics.
Teori itu begitu populer dalam 30 tahun terakhir baik di kalangan ekonom, presiden, maupun perdana menteri. Hampir mendekati mantra ajaib mereka mempercayai resep ini: permudah bisnis orang kaya, lewat pengurangan pajak, dan deregulasi, maka ekonomi akan tumbuh, yang pada akhirnya membuat makmur orang-orang miskin.
Teori itu buyar sekarang. Studi mutakhir oleh lima ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, “teori menetes ke bawah” adalah mitos belaka.
Juni lalu mereka menerbitkan hasil studi berjudul “Causes and Consequences of Income Inequality: A Global Perspective”. Menelisik data ekonomi lebih dari 150 negara untuk kurun 1980 – 2010, mereka menyimpulkan: “kekayaan tidak menetes”. Ketimpangan ekonomi dan pendapatan justru makin parah, baik antarnegara maupun di dalam negara masing-masing.
Ketimpangan tidak hanya memperparah kemiskinan dan memicu keresahan sosial politik. Ketimpangan itu pada akhirnya juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan upaya kemakmuran bersama.
Para peneliti menemukan, ketika pendapatan 20 persen penduduk terkaya naik, ekonomi justru melambat. Sebaliknya, ketika pendapatan 20 persen penduduk termiskin naik, ekonomi tumbuh membaik.
Dalam bahasa lebih populer: persulit hidup orang miskin, maka ekonomi akan merosot. Ketimpangan pendapatan membuat orang miskin harus berjuang keras, dan umumnya gagal, untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan bermutu bagus. Akibatnya, produktivitas mereka menurun, menarik turun pula produktivitas nasional, serta melukai semua komponen masyarakat.
Studi mutakhir itu pada dasarnya juga menampar muka IMF dan Bank Dunia sendiri, yang berbagai resep ekonominya diilhami oleh fatamorgana “menetes ke bawah”. Mereka terobsesi pada pertumbuhan semata, privatisasi, pengurangan anggaran publik dan peran negara, serta deregulasi bisnis dan investasi.
Program “pengencangan ikat pinggang” atau austerity ala IMF itu menemukan gaung dalam krisis utang yang membuat Yunani bergolak belakangan ini. Kisruh Yunani kemungkinan juga akan merembet ke Spanyol, Portugal, dan Irlandia dalam beberapa waktu yang akan datang.
Sejak 1980-an, resep beracun IMF dan Bank Dunia itu merasuk begitu luas ke seluruh dunia berkat kedigdayaan otot politik Amerika Serikat di bawah Ronald Reagan dan Inggris di bawah Margaret Thatcher. “Reaganomics” dan “Thatcherism” menganjurkan pengurangan pajak orang kaya, privatisasi, penyunatan anggaran publik, serta deregulasi. Inilah kebijakan yang oleh para pengecamnya disebut kebijakan “neoliberal”.
Ekonom klasik John Kenneth Galbraith mengingatkan bahwa “teori kuda dan burung gereja” yang diterapkan pada 1890-an terbukti gagal memenuhi janjinya di Amerika Serikat sendiri. Teori itu bahkan memicu depresi ekonomi besar. Tapi, Reagan tidak belajar.
Tiga puluh tahun kemudian Presiden Barack Obama menuai getahnya. “Melebarnya jurang pendapatan merupakan tantangan terbesar ekonomi masa kini,” kata Obama. Tak hanya di Amerika Serikat, ketimpangan memburuk secara global. Saat ini harta 85 orang terkaya dunia setara dengan harta 3,5 miliar penghuni bumi termiskin dikumpulkan menjadi satu.
Problem ketimpangan juga menjadi perbincangan makin hangat secara internasional setelah ekonom Prancis Thomas Piketty menerbitkan buku terkenal Capital in the Twenty-First Century pada 2013.
Studi mutakhir ekonom IMF dan buku Piketty itu relevan untuk Indonesia. Di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 10 tahun terakhir, negeri kita menyaksikan memburuknya ketimpangan ekonomi dan pendapatan, yang terparah sepanjang sejarah republik ini. Tampak ada tanda-tanda ketimpangan itu pula yang memperlambat pertumbuhan ekonomi pada periode kedua Presiden Yudhoyono.
Presiden Joko Widodo menikmati getahnya sekarang. Namun, agak sayang, pemerintahan baru ini tampak belum sepenuhnya menyadari akar masalah sebenarnya. Isu pemerataan, atau membangun Indonesia dari pinggiran, yang menjadi pilar manis Nawacita, dikaburkan oleh obsesi membangun megaproyek infrastruktur, yang dijamin akan lebih menguntungkan para kuda ketimbang burung-burung gereja.