Jumat, Maret 29, 2024

Kerajinan Tangan Gandhi

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Perajin menyelesaikan pembuatan gerabah di Sentra Pembuatan Gerabah Kasongan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. ANTARA FOTO/Noveradika
ANTARA FOTO/ Noveradika

Berkunjung ke Plered, Jawa Barat, pekan lalu, saya membeli tungku dan cawan tembikar. Sebagian karena motif nostalgia. Barang keramik tradisional yang hampir punah itu mengingatkan saya pada masa kecil di desa. Motif lain: menghargai tangan para pembuatnya. Motif ketiga: spiritual dan politik.

Plered, desa dekat Waduk Jatiluhur, Purwakarta, dulu dikenal sebagai pusat kerajinan keramik tradisional. Daerah ini kaya akan tanah lempung. Warga setempat memanen tanah, mencetaknya jadi barang pecah-belah, jika perlu menambahkan pewarna glazir, lalu mengeraskannya dalam tungku pembakar. Semuanya dikerjakan dengan tangan. Tanpa mesin.

Kerajinan tembikar Plered terus merosot dan terancam punah. Perkakas rumah buatan pabrik sudah lama mendesak mereka ke pinggir. Keberadaan jalan tol Cipularang, yang meringkas jarak Jakarta-Bandung, menggenapkan keterpurukan. Orang tak lagi lewat Purwakarta bahkan hanya untuk makan. Apalagi membeli barang.

Plered tidak sendirian. Hampir semua pusat kerajinan rakyat di Jawa merosot. Keterampilan tangan menenun, membatik dan menjahit kain makin langka. Demikian pula kepiawaian mengayam rotan dan bambu; mengukir kayu dan melukis kulit; atau menempa baja untuk membuat keris dan cangkul.

Kadang saya berpikir: apakah peralihan dari kerajinan tangan ke mekanisasi pabrik merupakan hal yang niscaya dan sudah semestinya? Apakah kita bisa menyebut itu sebagai ukuran kemajuan peradaban? Apakah itu satu-satunya jalan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan?

Jika memikirkan ini saya selalu mengingat Mahatma Gandhi. Saya berkali-kali menonton film biografi tentangnya, karya sutradara Richard Attenborough. Itu film panjang dan agak melelahkan, namun selalu memantik renungan tentang toleransi dan perdamaian, tentang politik dan ekonomi.

Salah satu adegan paling berkesan adalah ketika Gandhi memintal kapas untuk ditenun menjadi baju yang dipakainya sendiri. Kerajinan tangan Gandhi yang tampak sederhana itu punya akar pemikiran mendalam. Yakni tentang swadeshi, atau kemandirian ekonomi lokal, bahkan di tingkat desa.

Gandhi1 Mohammad_Hatta_1950Gandhi menjungkirbalikkan konsep produksi kolonial Inggris yang cenderung tersentral, padat modal, terindustrialisasi, dan mekanis. Dia menentang “produksi massal” yang merendahkan martabat manusia, sebaliknya menyarankan “produksi oleh massa (rakyat).”

Gandhi mengajak rakyat India menghargai kerja tangan dan desentralisasi produksi. Menyerahkan kerja tangan pada mesin, menurut dia, tak hanya menghilangkan manfat ekonomi, tapi juga manfaat spiritual. Kerja tangan memicu pikiran meditatif, yang penuh renungan, serta kepuasan pribadi, yang mendongkrak martabat dan harga diri.

Motor pendorong utama produksi massal adalah pemujaan pada individualisme. Sebaliknya, ekonomi yang berbasis pada masyarakat desa memupuk semangat gotong-royong menuju kesejahteraan bersama.

Menurut kaidah swadeshi, apa saja yang dibuat dan diproduksi di desa pertama-tama harus digunakan dan dibeli oleh penduduk desa itu sendiri. Pertukaran niaga antara desa atau kota untuk barang kebutuhan pokok harus sesedikit mungkin. Desa menjadi lebih kokoh, terbebas dari gejolak ekonomi dari luar.

Kemandirian desa dicerminkan oleh adanya semua jenis profesi: tukang kayu, pande besi, pemahat, mekanik, petani, nelayan, pembuat kue, penenun, guru, bankir, pedagang, pemusik, seniman dan ulama. Desa adalah miniatur negeri.

Swadeshi tak hanya merupakan cetak biru ekonomi kerakyatan tapi juga kedaulatan (politik) rakyat. Di Indonesia, pemikiran seperti ini sangat kental pada Bung Hatta, yang memang banyak terinspirasi oleh Gandhi.

Bagi Gandhi dan Hatta, kedaulatan desa adalah bentuk kedaulatan paling hakiki. Sistem ekonomi dan politik desa tak hanya peduli pada capaian materi, tapi juga capaian budaya, seni, harmoni sosial dan spiritual.

Tak hanya swadeshi membebaskan rakyat dari kolonialisme asing, tapi juga oleh kolonialisme bangsa sendiri lewat sistem ekonomi-politik yang merendahkan martabat manusia dan merusak lingkungan alam.

Melihat realitas sekarang, apakah pemikiran Gandhi dan Hatta itu sudah usang karena terlalu idealistik, terlalu lambat prosesnya, dan terlalu spiritual?

Otonomi desa sekarang justru sedang menjadi perhatian pemerintah; lewat undang-undang desa, pengucuran dana desa, dan semangat “membangun dari pinggiran”.

Melihat nasib Plered dan sentra-sentra kerajianan tradisional lain, kepedulian kita tentang kemandirian desa, tentang ancaman kemiskinan dan kerusakan alam desa, tentang hancurnya nilai budaya, sosial dan spiritual desa, tak ada artinya tanpa mengadopsi cara berpikir ala Gandhi dan Hatta.***

Farid Gaban
Farid Gaban
Mantan pemred geotimes, pendiri Zamrud Khatulistiwa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.