Di tengah hangatnya kampanye pemilihan presiden seperti sekarang, kita akan disuguhi banyak pameran statistik ekonomi.
Para pendukung petahana Joko Widodo akan menonjolkan statistik yang menunjukkan ekonomi baik-baik saja sehingga dia layak dipilih kembali. Sebaliknya, pendukung Prabowo Subianto akan menonjolkan statistik yang mengkhawatirkan sehingga Indonesia layak untuk ganti presiden.
Tapi, menurut saya, kedua kubu sebenarnya masih memakai ukuran-ukuran yang sama. Dan sama-sama menyesatkan.
Kedua kubu juga masih berkutat pada ekonomi, fiskal dan moneter semata, khususnya pada pertumbuhan GDP (gross domestic product). Padahal sukses atau gagalnya pemerintahan tidak bisa dilihat hanya dari ekonomi semata.
Para pendukung Jokowi, misalnya, akan memperlihatkan tingginya angka pertumbuhan ekonomi (lebih dari 5%) dan itu memang prestasi. Tapi para penentang akan mengatakan pertumbuhan itu tak sebagus pemerintahan sebelumnya.
Para pendukung Jokowi juga akan menunjukkan, bahwa dari nilai GDP, Indonesia tahun ini ada di peringkat ke-7 dunia, masuk ke jajaran elit 10 besar dunia, di atas dari Inggris dan Prancis.
Tapi, para penentang Jokowi akan mengatakan, GDP Indonesia besar karena jumlah penduduknya yang besar. Jika GDP-nya dibagi jumlah penduduk, GDP per capita, masuk 100 besar dunia pun Indonesia tidak.
Data itu sama-sama sahihnya. Tapi, kedua kubu sama-sama memakai ukuran pertumbuhan GDP, yang pada dasarnya terlalu simplistis dan layak dianggap usang.
Indikator GDP diperkenalkan menyusul resesi dunia (The Great Depression) pada tahun 1930-an. Indikator ini sangat kuat dipromosikan oleh Bank Dunia dan IMF sehingga menjadi standar yang paling luas dipakai. Memasukkan komponen investasi asing, indikator ini sesuai agenda liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas (free-trade) yang dipromosikan kedua lembaga tadi.
Akhir-akhir ini muncul sejumlah kritik, bahkan di kalangan ekonom kapitalis seperti Paul Krugman dan Joseph Stiglitz, yang menilai GDP tak lagi memadai untuk mengukur kinerja ekonomi. Salah satu cacat terpenting dari GDP adalah menyembunyikan ketimpangan.
Ketika GDP tumbuh, siapa sebenarnya yang ekonominya tumbuh dan memperoleh manfaat? Apakah itu otomatis mencerminkan kesejahteraan sebuah negeri?
Pada kampanye pemilihan presiden 1968, Robert F. Kennedy mengatakan: “GDP mengukur banyak hal kecuali apakah hidup rakyat menjadi lebih bermakna.”
Belakangan ini ada upaya untuk menyempurnakan GDP sebagai ukuran. Ekonom seperti Thomas Piketty, penulis buku terkenal tentang ketimpangan ekonomi, mulai menerbitkan versi baru GDP yang memisahkan berapa porsi pendapatan nasional ke kelompok ekonomi berbeda: kaya, menengah dan miskin.
Ketimpangan ekonomi antar-negara maupun di tiap negara kini dianggap sebagai problem besar, bahkan oleh ekonom Bank Dunia dan IMF. Dalam jangka panjang, menurut mereka, ketimpangan potensial menghambat pertumbuhan GDP itu sendiri.
Tapi, dalam konteks itu, bahkan ekonom Bank Dunia/IMF maupun Piketty masih bicara ekonomi semata. Pertumbuhan GDP tidak mencerminkan berapa ongkos yang harus dibayar: ongkos kerusakan lingkungan, serta pelanggaran hak asasi dan prinsip keadilan sosial.
Pentingnya ukuran baru: human development index
Saya lebih cenderung melihat Indonesia dari kacamata Indeks Pembangunan Manusia, indikator yang dikeluarkan oleh United Nations Development Program (UNDP), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indikator ini diperkenalkan pada 1980-an oleh ekonom Mahbub ul Haq (Pakistan) dan Amartya Sen (pemenang Nobel dari India).
Human Development Index memasukkan komponen GDP per capita, tapi tak hanya itu. Gagasan di balik indikator ini adalah menekankan bahwa “mutu manusia” lah (potensi dan kemampuannya) yang seharusnya menjadi kriteria utama untuk menilai kinerja pembangunan tiap negara, tak cuma pertumbuhan ekonomi semata.
HDI memasukkan pula berbagai komponen sosial: akses terhadap air barsih, angka harapan hidup, indikator pendidikan dan kesehatan, tingkat kriminalitas, kemiskinan, diskriminasi gender. Dengan kata lain, HDI memotret secara lebih komprehensif dan holistik terhadap kinerja pembangunan, dengan manusia sebagai sentralnya.
Setiap tahun UNDP mengeluarkan laporan tentang perkembangan dan peringkat HDI tiap negara di dunia. Laporan paling mutakhir diterbitkan pekan ini. Dan dari laporan itu terlihat kondisi pembangunan manusia kita tak terlalu menggembirakan.
Peringkat HDI kita tahun 2017 turun satu anak tangga ke posisi ke-116 (dari 200-an negara yang disurvai). Peringkat itu jauh di bawah Srilanka dan Botswana, negeri-negeri yang kita pandang sebelah mata.
Itu “kabar gembira” bagi penentang Jokowi. Tapi, nanti dulu.
Sejak zaman Soeharto kita memang tak pernah masuk dalam 100 besar. Ini bukan kegagalan Pemerintahan Jokowi saja.
HDI kita terus meningkat, termasuk di zaman Jokowi, tapi negeri lain meningkat lebih cepat. Filipina, misalnya, yang tahun sebelumnya di bawah kita, kini ada di atas. Vietnam yang sebelumnya jauh di bawah kini satu peringkat dengan kita.
HDI Indonesia meningkat 35% dalam dua dasawarsa era Reformasi. Tapi, pertumbuhan itu harus dikorting 18% jika komponen ketimpangan ekonomi dimasukkan. Pemerintahan Jokowi mewarisi ketimpangan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah republik ini yang dicapai oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Rendahnya prestasi pembangunan manusia sampai zaman Jokowi menunjukkan satu hal: meski pemerintahan berganti-ganti, tidak ada perubahan signifikan dalam arah dan paradigma pembangunan. Kita masih terjebak ukuran-ukuran lama, business as usual.
Salah satu indikasinya sangat jelas: baik kubu pendukung atau penentang pemerintahan sekarang masih mendewa-dewakan statistik pertumbuhan GDP. Kita sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang sempit, melupakan aspek manusia yang multi-dimensional.