Salim Kancil, petani yang menolak investasi tambang pasir di desanya, disiksa dan dibunuh. Ini sebenarnya cuma pucuk gunung es dari sebuah problem besar yang memiriskan: konflik lingkungan dan sosial parah.
Jika tak hati-hati, problem ini bisa makin parah di tengah obsesi pemerintahan baru membangun infrastruktur dan menarik investasi swasta domestik ataupun asing.
September ini pemerintah mengeluarkan dua paket kebijakan ekonomi. Jantung dari kebijakan itu adalah deregulasi, atau melonggarkan aturan. Ratusan peraturan direvisi dan dilunakkan, atau dihapuskan sama sekali.
Perizinan bisnis dan investasi dipermudah dan dibuat seringkas mungkin. Izin eksplorasi tambang di kawasan hutan, misalnya, dipangkas menjadi 3 hari, dari sebelumnya 3 tahun. Pelonggaran aturan juga mencakup pembebasan lahan untuk investasi infrastruktur serta kemudahan ekspansi perusahaan ritel hingga ke desa-desa.
Itu tidak serta merta buruk. Salah satu problem besar kita adalah budaya birokrasi yang lamban serta korup. Jargon “jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah” begitu populer. Reformasi birokrasi karenanya memang harus dilakukan baik di pusat maupun daerah.
Banyak aturan memang layak dihapus. Tapi, beberapa aturan (atau regulasi) bisnis memang benar-benar dibuat untuk melindungi lingkungan alam serta melindungi kehidupan sosial-ekonomi rakyat yang paling lemah.
Profesionalisme aparat pemerintahan tidak bisa cuma diukur dari kecepatan bekerja. Semangat melayani di kalangan birokrat mencakup pula ketegasan dalam melindungi kelestarian alam, misalnya, serta dalam menjaga harmoni sosial.
Artinya, perlu dipilah benar mana aturan yang bisa dihapuskan atau dilunakkan, dan mana yang harus tetap ditegakkan. Jika tak hati-hati, deregulasi dan obsesi pada investasi bisa merusak alam kian parah, menghancurkan ekonomi rakyat, serta memicu konflik berdarah-darah.
Indonesia tak sendirian dalam perlombaan memikat investor. Sekitar 30 negara yang tergabung dalam negeri berkembang (emerging markets) bersaing menarik investasi yang makin kecil kuenya.
Pekan ini The Institute of International Finance menerbitkan studi yang menunjukkan turunnya secara signifikan arus modal ke negeri berkembang. Investasi asing di negeri-negeri itu terpangkas separo dari tahun sebelumnya, jatuh di bawah tingkat investasi pada krisis global 2008.
Tahun depan, menurut lembaga tersebut, investasi mungkin akan naik sedikit, namun secara keseluruhan penurunan investasi itu bersifat struktural, bukan musiman. Faktor pemicunya ada pada fondasi ekonomi dan politik negara bersangkutan.
Kita bisa membayangkan, Indonesia akan bersaing ketat dengan Vietnam, Sri Lanka, Bangladesh, dan Nigeria dalam memikat investasi yang mengering. Jika mau mengikut permainan ini, kita akan didorong menurunkan standar perlindungan alam dan hak asasi manusia.
Haruskah Indonesia ikut serta dalam perlombaan seperti itu?
Sudah lama para ekonom mengatakan sebuah negara membutuhkan modal asing untuk menumbuhkan ekonomi, membesarkan kue, yang kemudian (diharapkan) bisa menyejahterakan seluruh rakyatnya. “Indonesia membutuhkan modal asing untuk membangun infrastruktur,” kata Presiden Joko Widodo.
Itu hanya benar sebagian. Dan, tekad seperti itu tidak baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan hal serupa di awal pemerintahannya. Pemerintah percaya modal asing tak cuma mendatangkan uang, tapi juga membuka lapangan kerja, memicu alih teknologi dan meningkatkan profesionalisme serta keterampilan manajemen.
Tapi, kita tahu, pertumbuhan investasi itu tidak mendorong pemerataan, justru sebaliknya. Indeks Gini, salah satu ukuran ketimpangan pendapatan, menunjukkan lonjakan besar pula, tertinggi dalam sejarah. Kita juga menyaksikan kerusakan hutan yang parah, dibarengi konflik sosial tinggi akibat perebutan lahan.
Kehebatan menarik investasi asing tidak semestinya menjadi kebanggaan bangsa. Studi di Amerika Latin menunjukkan, investasi cenderung mengalir justru ke negara yang lembek secara hukum, institusi keuangannya lemah, birokrasinya korup. Berkebalikan dengan pandangan lazim, tingginya daya tarik terhadap investasi asing justru menunjukkan kelemahan, bukan kekuatan sebuah negeri.
Dalam perlombaan menggelar karpet merah investasi, seberapa rendah Indonesia akan merendahkan standar-standar pelestarian hutan, laut, sungai, dan gunungnya? Seberapa rendah akan mengabaikan perlindungan hak asasi manusia yang membuat petani, seperti Salim Kancil, terbunuh?