Makin banyak orang suka minum kopi. Konsumsi kopi terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan di Jerman, negeri bir, kopi kabarnya telah menyalip minuman alkohol itu sebagai minuman favorit. Tren kopi-mania juga makin marak di Indonesia, tempat asal Java coffee yang terkenal.
Tapi, tahukah Anda, kopi yang kita seduh sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari setiap biji yang dipetik dari pohonnya? Ada sekitar 7 ton kopi diproduksi di seluruh dunia tiap tahun, dan jutaan ton kulit biji serta ampas seduhan kopi dibuang begitu saja sebagai limbah.
Di Amerika Latin dan Afrika, beberapa perusahaan perkebunan kopi kini memperoleh pendapatan tambahan dengan mengolah limbah itu. Limbah kopi ternyata merupakan medium bagus untuk mengembangbiakkan beragam jamur yang bisa dimakan. Air limbah kopi juga bisa dipakai sebagai biogas pembangkit energi.
Ekonomi Biru, Meniru Prinsip Alam
Dengan sedikit pengetahuan dan teknologi, plus manajemen kewirausahaan, kita bisa memberi nilai pada barang yang tadinya tak bernilai. Penciptaan nilai ekonomi tadi tidak membutuhkan biaya dan energi besar. Bisa dilakukan hampir siapa saja, bahkan warga paling miskin dan marjinal di desa.
Pemanfaatan limbah kopi hanya satu saja wujud dari konsep “ekonomi biru”. Konsep ekonomi ini pada dasarnya mengambil prinsip sederhana dari bekerjanya alam, Bumi, planet kita yang berwarna biru jika dilihat dari angkasa.
Kita tahu, alam tidak meninggalkan limbah: apa yang terbuang dari sebuah proses produksi bisa dimanfaatkan oleh proses lain. Apa yang nampak tak bernilai bisa menjadi “modal” untuk memulai usaha baru dan mendapatkan income baru.
Ekonomi Biru, Kreativitas dan Imajinasi
Indonesia kini dihadapkan oleh berbagai problem: ancaman pengangguran, kerusakan alam-lingkungan, ketimpangan, pemiskinan desa, ketahanan pangan dan ketergantungan pada impor serta utang luar negeri.
Menghadapi itu semua, Indonesia dituntut lebih imajinatif dan inovatif dalam mencari solusi. Dalam kaitan itu, “ekonomi biru” merupakan salah satu konsep yang menarik untuk dikaji dan digali lebih jauh.
Mengolah limbah, termasuk limbah pertanian, kini menjadi tren di dunia yang diilhami oleh gaya hidup ramah lingkungan. Tapi, “zero-waste” atau “hidup tanpa sampah” hanya satu saja prinsip dari “ekonomi biru”.
“Ekonomi Biru” diperkenalkan oleh ekonom Belgia bernama Gunter Pauli.
Kunci model ekonomi biru adalah menciptakan lapangan kerja, membangun modal sosial, dan menghasilkan uang dengan mengembangkan model-model bisnis yang baru. Badan-badan usaha harus menggunakan semua sumber daya yang ada dari alam sekeliling mereka, dan meningkatkan efisiensi dalam prosesnya, untuk mengembangkan portofolio bisnis yang menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri dan bagi masyarakat.
Gunter Pauli datang ke Indonesia beberapa tahun lalu, di zaman Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dia menyatakan kekagumannya pada potensi “ekonomi biru” negeri kita. Tapi, Pak SBY tak terlalu menghiraukannya. Dan kini sepertinya Pak Jokowi juga tidak belajar darinya.
Padahal, konsep “ekonomi biru” yang bertumpu dan mengambil inspirasi dari alam mungkin justru bisa menjadi jalan keluar terpenting di tengah kebingungan Pemerintahan Jokowi sekarang ini. Pemerintah terobsesi oleh pembangunan infrastruktur, sementara itu kekurangan uang untuk membiayainya.
Alih-alih membutuhkan banyak biaya, mengemis utang dan investasi asing, ekonomi biru bertumpu pada “apa yang kita punya”. Hanya dengan serius menengok alam kita, Indonesia bisa membangkitkan ekonomi yang digdaya.
Ekonomi Biru, Definisi Baru Kemakmuran
Bicara tentang alam, kekayaan alam terbesar kita bukanlah emas di Freeport atau gas di Kepulauan Natuna. Tapi, pada keragaman hayatinya.
Kopi hanya satu saja jenis tanaman yang kita punya. Indonesia dikenal sebagai kawasan tropis yang subur dan kaya akan keragaman hayati, tempat “tongkat dan kayu bisa menjadi tanaman”.
Indonesia disebut sebagai kawasan “megadiversity”; keragaman hayati kita di darat nomor dua di dunia, hanya kalah dari Brazil. Tapi, Brazil tak memiliki laut seluas kita, yang juga mengandung keragaman hayati tiada tara. Sebagian besar sumberdaya hayati itu, baik di darat maupun laut, bahkan belum kita ketahui manfaatnya, apalagi kita budidayakan.
Kita bisa membayangkan potensi ekonomi yang bisa dibangkitkan dari keragaman tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan itu berikut limbahnya yang kini terbuang percuma.
Ekonomi Biru dan Ketahanan Ekonomi
Prinsip keragaman hayati dalam ekonomi biru yang diperkenalkan oleh Gunter Pauli sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru bagi petani Indonesia.
Di pedesaan zaman dulu, nenek moyang kita menanami kebun dan pekarangan rumah dengan beragam pohon. Tak hanya itu, mereka juga beternak kambing, bebek, ayam serta membuat kolam ikan.
Jagung memberi makan ternak; ternak menghasilkan kotoran untuk kompos dan pupuk sayuran; sayuran untuk memberi makan ikan; dan seterusnya.
Nenek moyang kita umumnya telah menerapkan “integrated farming” dan “circular enonomy”, jauh sebelum konsep itu diperkenalkan oleh para pakar ekonomi dan pertanian.
Dengan tanaman dan peliharaan beragam, nenek moyang kita bisa bersandar kebutuhan pangan secara mandiri. Tapi, lebih dari itu, mereka bisa memanen hasil sepanjang tahun, dan dengan jenis panen yang beragam. Mereka telah jauh hari menerapkan prinsip yang oleh Gunter Pauli disebut sebagai “multi-stream economy”.
Zaman berubah dan kita tak bisa meniru sepenuhnya kehidupan nenek-moyang. Namun kita bisa menghidupkan kembali prinsip “multi-stream economy” yang membuat desa lebih mandiri. Seperti ditunjukkan oleh ekonomi biru Gunter Pauli, petani kopi tak hanya menjual kopi, tapi juga menjual jamur yang ditumbuhkan oleh limbah kopi.
Konsep itu juga berlaku bagi petani kelapa, tanaman ajaib yang hampir setiap bagian dan limbahnya bisa memiliki nilai ekonomi. Dari kelapa kita bisa menghasilkan ratusan jenis produk: sabun, karbon pengawet, sampo, kosmetik, kecap, minyak, nata de coco, tepung dan sebagainya. Limbah sabut dan batoknya bisa menjadi biomaterial, bahan yang berbasis pada alam dan ramah lingkungan: dari jok mobil mewah hingga penghias interior.
Ekonomi Biru, Ekonomi Padat Karya
Keragaman hayati flora-fauna Indonesia adalah modal besar yang sudah ada dan tersedia. Kita hanya perlu menengok dan menggali potensinya secara lebih serius. Industri pengolahan pangan dan pertanian tidak membutuhkan modal yang sangat besar, tidak perlu sains dan teknologi yang sangat canggih.
Konsep ekonomi biru yang bertumpu pada “apa yang kita” juga memperkecil ketergantungan negeri kita. Indonesia tak perlu mengemis utang dan investasi asing yang sering harus dibayar dengan tergerusnya martabat kita sebagai bangsa.
Di tingkat mikro, di desa-desa, keragaman yang didorong oleh konsep “ekonomi biru” juga menjamin tersedianya beragam lapangan kerja yang bersifat padat karya. Ini potensial mengurangi beban pengangguran dan urbanisasi ke kota-kota yang kian pengap dan padat.
Lebih dari itu, ekonomi biru tidak membutuhkan banyak prasyarat, bisa dilakukan lebih cepat tanpa menunggu. Limbah pertanian, misalnya, tersedia demikian banyak, terserak dan terabaikan.
Petani yang paling miskin pun bisa memanfaatkannya sebagai modal pertama untuk membangkitkan ekonomi keluarga. Bahkan tanpa bantuan siapapun, termasuk pemerintah, mereka bisa bergerak asal ada kesadaran untuk lebih jeli menengok potensi sekeliling mereka hidup.***