- Review Buku: Haryatmoko, Jalan Baru Kepemimpinan dan Pendidikan Jawaban Atas Tantangan Disrupsi-Inovatif, 2020.
Perkembangan teknologi digital menjadi salah satu penanda revolusi industri 4.0. Di mana hampir semua aspek kehidupan kita dapat terkoneksi dengan sangat cepat dan mudah berkat jasa teknologi.
Belakangan, di saat situasi dunia terdampak Covid-19 teknologi digital mendapat momentum untuk tampil sebagai salah satu aktor penting di panggung pandemi. Aneka platform berbasis internet seolah mendapat ruang bermain yang begitu leluasa, khususnya ketika banyak orang dipaksa bekerja di rumah.
Di sisi lain, era disrupsi teknologi yang semakin maju bahkan sudah mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, yakni model kepemimpinan yang harus berubah, bukan lagi hierarkis atau sentralistis. Perubahan model kepemimpinan itu menuntut ketrampilan dan kompetensi baru: hard skills (komputasi awan, kecerdasan buatan, analytical reasoning, people management, dan user experience design) dan soft skills (kemampuan persuasi dan komunikasi, kerjasama, adaptasi dan manajemen waktu).
Semua ketrampilan baru itu berbasis teknologi digital dengan fokus ke inovasi untuk menjawab masalah real time. Era disrupsi teknologi juga mempengaruhi bidang pendidikan. Semua pihak yang terlibat, termasuk guru dan murid, diharapkan mampu mengikuti perkembangan zaman.
Pengetahuan yang dipelajari harus just-in-time, bukan lagi hanya just-in-case seperti yang diberikan sistem pendidikan selama ini. Maka sistem pendidikan harus berubah menyesuaikan perkembangan baru ini, era revolusi industri 4.0.
Buku Jalan Baru Kepemimpinan dan Pendidikan Jawaban Atas Tantangan Disrupsi-Inovatif, karya Dr. Haryatmoko, ini sangat menarik untuk dibedah. Dilihat dari judulnya saja, buku ini hadir memberikan tawaran tawaran yang bersifat solutif, bukan cerita fiktif. Buku ini hadir pada momen yang sangat tepat karena berbagai ragam isu yang dibahas di dalamnya sangatlah aktual, bukan berisi hal hal yang fiktif, atau berandai-andai. Dan, secara tegas, harus dikatakan bahwa terbitnya buku ini mampu menjadi anugerah intelektual bagi para milennial, dan bukan petaka yang menjadikannya terasing dari dunia intelektual.
Buku ini diawali dengan pembahasan perjalanan revolusi industri. Revolusi industri 1.0 (1760–1840) dipicu pembangunan jalan kereta api dan penemuan mesin uap, revolusi industri 2.0 (abad ke-19 sampai abad ke-20) ditandai dengan produksi masal berkat listrik dan perakitan, revolusi industri 3.0 (mulai 1960) ditandai adanya komputer, semikonduktor, komputasi mainframe dan pribadi dan internet, serta revolusi industri 4.0 dipicu internet yang makin meluas dan mobile. Juga, kecerdasan buatan dan sensor yang semakin kecil tapi semakin kuat dan murah, yang memungkinkan adanya big data.
Revolusi Industri 4.0 menuntut dua jenis kualitas kepemimpinan: individu dan relasional. Selain akuntabilitas, pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan problem solving, berpikir kritis, beradaptasi, dan berinovasi demi mengubah ketidakpastian ataupun ancaman menjadi kesempatan.
Dalam ranah relasional, seorang pemimpin diharapkan mampu berkomunikasi secara efektif, terampil dalam manajemen informasi, dan mampu membangun jejaring kerja sama yang saling menguntungkan. Single fighter bukan lagi ciri kepemimpinan era Revolusi Industri 4.0.
Menurut Romo Haryatmoko, pemimpin yang dinamis dan inspiratif di era disrupsi digital di satu sisi harus mampu menebar harapan terutama untuk orang muda karena secara digital mampu menciptakan iklim yang kreatif dan inovatif. Namun, di sisi lain, disrupsi digital mengakibatkan masa depan sulit diprediksi. Karena itu, tantangan terbesar dewasa ini adalah menghadapi masa depan yang tidak pasti. Bagaimana menjawab perubahan ini? Romo Moko secara panjang lebar menjelaskan dalam buku ini, bagaimana seorang pemimpin punya kemampuan mengubah ancaman menjadi kesempatan, terutama dalam situasi ketidakpastian ini.
Jika mengacu pada buku ini, disrupsi pandemi dan era digitalisasi membutuhkan kompetensi profesional. Kombinasinya terletak pada paduan (1) kompetensi teknis-keahlian, (2) kompetensi etik-nilai dan moralitas, serta (3) kompetensi komunikasi-persuasi.
Melalui hal tersebut, kita akan mampu beradaptasi dalam tantangan disrupsi akan secara dinamis. Peran kepemimpinan menjadi signifikan membungkus seluruh kompetensi menjadi motor perubahan. Perlu dipahami bahwa dalam konsep kepemimpinan terdapat ruang rasional terbatas (bounded rationality), di mana terjadi keterbatasan dalam melakukan pengelolaan informasi karena dimensi batas persoalan yang luas, serta ragam instrumen jawaban yang mampu kita miliki sedemikian sedikit.
Karena itu, menurut penulis buku ini, aspek kolaboratif kepemimpinan tidak menjadi aspek tunggal melainkan kolektif, himpunan dari berbagai ilmu dan pengetahuan. Pemimpin memiliki sense akal budi kepemimpinan, dalam melihat horison dan berdiskusi atas tahapan-tahapan menuju visi yang digagas tersebut. Sehingga teknologi menjadi alat bantu, ilmu pengetahuan dalam kaidah ilmiah adalah sarana merumuskan langkah mencapai tujuan. Pemimpin berjalan seiring dengan alur pikir secara rasional.
Romo Moko secara tegas, mengatakan bahwa menghadapi disrupsi, model kepemimpinan harus berubah. Perubahan model bisnis dan kepemimpinan ini, menurutnya, menuntut keterampilan dan kompetensi baru yang fungsinya mendorong inovasi. Maka, sistem pendidikan pun harus berubah. Perubahannya dimulai dengan pola pikir pendidik untuk menghadapi: (1) keterampilan era digital yang membutuhkan latihan, metode dan, komunikasi pembelajaran baru; (2) materi pembelajaran yang lebih menekankan kreativitas; (3) cara belajar generasi digital yang berbeda dengan generasi pendidik; (4) perubahan strategi penempatan pembelajar: metode dan komunikasi pedagogi diarahkan ke kerja sama saling menguntungkan demi inovasi.
Buku yang sukses menembus cetakan kelima hanya dalam tempo belum setahun ini ibarat gayung bersambut atas dua momentum penting saat ini: Revolusi Industri 4.0 dan pandemi Covid-19. Sebuah pepatah bahasa Inggris berbunyi, ’’There are two sides of a coin”. Di satu sisi, Covid-19 memunculkan malapetaka. Namun, di sisi lain, teknologi, bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan selama pandemi, mengakselerasi sekaligus menguji kesigapan kita menghadapi tantangan disrupsi digital yang, mau tidak mau, menuntut adanya perubahan.
Tidak hanya itu, pendidikan karakter juga perlu diintegrasikan ke semua materi pembelajaran dan pelatihan. Tujuannya adalah untuk membentuk integritas pribadi, altruisme, jiwa kepemimpinan, kerja sama, dan sikap kritis. Dengan itu, pembelajar menjadi kritis, kreatif, dan melek media sehingga selektif terhadap informasi. Sebagai lembaga yang bertugas mempersiapkan generasi bangsa demi menjawab semangat zaman, dunia pendidikan harus pula berbenah.
Ada empat poin besar yang diusung penulis: berorientasi pada pemerolehan pengetahuan dan keterampilan, menjadi warga negara yang kompeten dan humanistis, mampu menjawab tantangan sosial, ekonomi, dan keadilan; serta memajukan ilmu pengetahuan. Euforia post-truth yang sarat muatan emosional tapi minim rasionalitas juga dibahas. Penulis menegaskan pentingnya kurikulum yang mengintegrasikan, antara lain, media literacy, keterampilan untuk memverifikasi sumber berita, dan kekritisan dalam menganalisis wacana.
Perubahan sistem pendidikan harus mulai dengan model pembelajaran baru di mana yang menjadi pusatnya adalah pembelajar, bukan pengajar. Maka pendidik harus mengubah pola pikir menyesuaikan dengan peran barunya karena empat alasan ini: (1) ketrampilan-ketrampilan era digital membutuhkan latihan, metode dan komunikasi pembelajaran yang baru sama sekali; (2) materi-materi pembelajaran disrupsi-inovatif lebih menekankan kreativitas; (3) cara belajar generasi digital berbeda dengan generasi pendidik; maka diperlukan (4) perubahan dalam strategi penempatan pembelajar di mana metode dan komunikasi pedagogi pembelajarannya diarahkan ke kerjasama saling menguntungkan demi inovasi.
Dalam rangka pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan itu, pendidikan karakter jangan sampai dibatasi hanya pada pendidikan budi pekerti dan agama, tetapi harus diintegrasikan ke dalam semua materi pembelajaran serta pelatihan-pelatihan.
Tujuan yang mau dicapai: integritas pribadi, altruisme (pelayanan, belarasa, rasa hormat dan tanggungjawab), serta pengembangan jiwa kepemimpinan dan kemampuan bekerjasama. Kerjasama dan altruisme mengandaikan pembelajar memiliki pemikiran yang terbuka dan bisa menghargai perbedaan.
Maka sistem pendidikan harus tajam, bukan hanya di dalam pembelajaran ketrampilan-ketrampilan dasar, tetapi juga logika yang melandasi ketrampilan-ketrampilan tersebut. Dengan demikian pembelajar menjadi kritis, kreatif dan familiar dengan media literasi sehingga selektif terhadap informasi. Pencapaian ini membekali pembelajar menghadapi dua bahaya: (1) kecenderungan post-truth yang sarat hoax serta rentan memicu emosi sosial; dan (2) perkembangan radikalisme agama yang menyasar kalangan pembelajar.
Materi pelajaran yang bisa diajarkan oleh guru dengan mudah biasanya akan mudah pula digantikan dengan teknologi. Kalau guru mengajarkan hanya menyampaikan materi yang tertulis di buku, maka tidak ada bedanya dengan internet. Bahkan informasi di internet jauh lebih banyak dan kaya, di mana anak-anak sekarang sudah bisa mencarinya sendiri tanpa bantuan guru.
Namun, untuk mengubah kebiasaan mengajar bukan persoalan mudah. Selama ini segala macam hal mengenai pengajaran diatur dari pemerintah pusat. Pengajaran seolah-olah pekerjaan manual, padahal sebenarnya penuh dengan kreativitas, inovasi. Maka dari itu, harus ada perubahan aspek di semua lini. Dan yang harus dipikirkan pula bagaimana membentuk kurikulum yang bisa beradaptasi, mendisrupsi kebiasaan yang ada selama ini.
Melalui kurikulum, kita ditantang untuk menyiapkan anak-anak yang bisa mempunyai pemikiran antisipatif, kritis, analitis, kreatif dalam memecahkan masalah, berinovasi, dan mempunyai karakter yang bisa beradaptasi untuk hal-hal baru. Karakter itu akan membekali anak-anak kita agar bisa hidup dalam zaman yang penuh kompleksitas dan ketidakpastian, tapi pada saat yang sama penuh dengan kesempatan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menginisiasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai tindak lanjut atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Sejauh ini gerakan tersebut diterjemahkan menjadi kegiatan membaca di pagi hari sebelum pelaksanaan pembelajaran dimulai. Kebijakan ini patut diapresiasi, namun perlu dipertajam lagi melalui pembelajaran literasi digital karena realitanya setiap peserta didik telah akrab dengan media sosial.
Selain dikenalkan tentang literasi digital, sikap kritis peserta didik juga perlu diasah sejak dini. Salah satunya melalui pembiasaan menulis. Dengan menulis, peserta didik dianjurkan banyak membaca. Sedangkan ketika mereka menuangkan argumennya dalam tulisan, otak mereka dapat terprogram untuk membandingkan informasi dari beragam bacaan yang tersedia. Hal ini juga melatih mereka menganalisis berbagai informasi mana yang memiliki bobot validitas yang lebih tinggi.
Selain sikap kritis, mereka juga dapat terbiasa bersikap terbuka terhadap segala informasi. Sikap-sikap inilah yang mampu membentengi diri dari simpang siurnya informasi di era post-truth. Namun demikian, yang lebih utama dari semua hal di atas adalah keterampilan tersebut harus dimulai oleh pendidik. Pendidik seyogyanya memahami literasi digital dan memiliki keterbukaan terhadap informasi baru namun tetap kritis dalam menerima dan menyebarkannya.
Menurut Romo Moko, cara pembelajaran pendidikan di Indonesia masih dalam tahap awal dan belum sampai pada analisis, sintesis, dan kreatif. Harapan beliau sekolah-sekolah yang ada di Indonesia dapat menerapkan metode pembelajaran yang dijelaskannya. Mengajari peserta didik untuk bertanggung jawab, memiliki pandangan luas, dan tentunya dari hal tersebut peserta didik menjadi lebih percaya diri. Hal ini yang masih menjadi tantangan dan diperlukan inovasi-inovasi baru untuk menyelesaikannya. Guru juga harus belajar, dan harus kreatif. Perkembangan zaman sangatlah pesat, sehingga guru harus menyesuaikan dengan keadaan sekarang, dan juga harus siap dengan perkembangan pendidikan di masa yang akan datang.
Walaupun terdapat jargon-jargon mengenai teknologi yang bisa sedikit menunda pemahaman pembaca, buku ini layak dijadikan kerangka berpikir dan bertindak bagi mereka yang menekuni dunia bisnis, industri, kepemimpinan, dan kependidikan. Tidak hanya kajian teoretis, penulis juga mengulas langkah-langkah konkret perubahan.
Bahkan, disajikan pula instrumen-instrumen praktis, semisal tabel Kriteria Evaluasi Kinerja Tim (h. 65), Rancangan Tujuan Pendidikan (h. 76-77), Lima Langkah Ilmiah Memecahkan Masalah (h. 131), ataupun Lima Langkah Design Thinking (h. 131-133). Jika selama ini Revolusi Industri 4.0 sering dimaknai sebagai yang gelap, suram, dan tidak pasti, buku ini mampu berperan sebagai lentera yang menyibak dengan terang benderang apakah Revolusi Industri 4.0 itu dan bagaimana menyikapinya dengan tepat. Belum banyak buku dengan tema serupa yang hadir.
Sekali lagi, buku ini memberi kerangka bagi setiap orang yang menganggap dirinya sebagai pembelajar untuk menghadapi dua bahaya: (1) kecenderungan post-truth yang sarat hoax serta rentan memicu emosi sosial dan (2) perkembangan radikalisme agama yang menyasar kalangan pembelajar. [BMR]