Jumat, Maret 29, 2024

Mencintai Munir, Munir Manusia Biasa

Riyadh Putuhena
Riyadh Putuhena
Law Student, Ketua Bidang Otonomi Daerah Badko HMI Jawa Timur 2022-2023, Peneliti YLBHI-LBH Malang

Aku berangkat, cintamu mengiringi perjalananku. Peluk cium untukmu dan dua belahan jiwa kita. I Love You”

Sebuah pesan singkat dari Munir kepada Suciwati pada 6 September 2004 pukul 21.05 WIB yang menjadi komunikasi terakhir Munir dan Suciwati sebelum Munir tewas. Pesan yang diterima Suciwati dalam perjalanan pulang menuju Bekasi setelah mengantarkan Munir ke Bandara Soekarno Hatta untuk terbang ke Belanda melanjutkan pendidikannya. Kita semua tahu jika penerbangan itu adalah kali terakhir bagi Munir sekaligus jalan untuk menghadap Tuhan yang Maha Esa. Ya, Munir mati di udara.

Munir –utamanya bagi kami yang masih balita atau bahkan belum lahir saat dirinya tewas– adalah sosok pembela hak asasi manusia yang lugas dan keras. Gaya rambut dan kumis tebal menambah kesan kegarangannya sebagai seorang pejuang. Term pejuang memang kerap menanggung beban makna mulai dari garang, keras, cadas, tidak kenal kompromi, atau bahkan kaku. Hal ini diperkuat dengan citra Munir yang selalu ditampilkan dalam banyak berita populer sebagai sosok yang tidak mengenal lelah melawan rezim Soeharto, militerisme, dan segala elemen pendukungnya. Rasanya sulit membayangkan ada sosok yang lembek dan mampu konsisten melawan keras dan kasarnya rezim Soeharto.

Cinta bermekaran, penghargaan kemanusiaan

“Kalau Plato bilang cinta itu adalah sebuah ruang dan mencintai adalah sesuatu yang ada, maka cinta sebenarnya adalah Tuhan. Tuhan adalah kehidupan, maka cinta adalah sebuah kehidupan”

Kalimat manis ini bukan keluar dari mulut seorang filsuf atau pujangga beken, tetapi meluncur dari ketikan SMS seorang aktivis hak asasi manusia. Suciwati menggambarkan beberapa kali dengan terang betapa Munir punya sisi romantis layaknya saya dan Anda ketika sedang jatuh cinta. Kegemaran Munir melahap bacaan-bacaan filsafat tentu sedikit banyak mempengaruhi gayanya dalam mengekspresikan cinta.

Kegigihan Munir dalam membela mereka yang termajinalkan memang tidak perlu diragukan. Alih-alih terjebak dalam glorifikasi berlebihan pada sosok Munir, Suciwati menghadirkan potret Munir yang jujur dan polos ketika meminta restu untuk mendampingi seorang buruh perempuan yang hendak dipaksa menikah oleh orang tuanya. “Cik, ada buruh Tjiwi Kimia, dia mau dijodohkan orang tuanya sementara dia belum mau menikah. Jadi, aku diminta mengaku jadi pacarnya. Nggak pa-pa, ya? Kan Cuma pura-pura”. Adegan berpura-pura pacaran ini sangat jauh dari imajinasi kita tentang Munir.

Munir terlibat dalam banyak pembelaan korban pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat. Cerita tentang komitmennya untuk berdiri dan bersolidaritas bersama korban tersebar di mana-mana. Namun, bukan berarti Munir tidak memiliki rasa takut. Sekali lagi layaknya saya dan Anda, Munir juga punya rasa takut. Yang membuat Munir berbeda adalah bagaimana ia mampu mengelola rasa takutnya sehingga tidak merugikan perjuangannya membela korban. Munir paham betul bahwa teror kekuasaan pada hakikatnya adalah menyebarkan rasa takut. “Tak perlu kata-kata untuk itu, kita saling tahu”. Oleh karena itu, dengan tidak menunjukkan ketakutan adalah satu langkah melawan teror itu sendiri.

Hak asasi manusia memang masih barang aneh di negeri ini. Ia tidak dipandang sebagai sebuah nilai universal melainkan sebuah produk impor yang akan selalu dipertentangkan dengan kearifan lokal. Padahal, kita tahu sama tahu jika di dalam sebuah kearifan lokal kerap kali tersembunyi penghisapan dan perampasan kemerdekaan manusia. Dipandang dari sudut manapun sudah barang tentu penghisapan dan perampasan kemerdekaan manusia bukanlah tindakan yang pantas untuk dibenarkan. Bukankah atas nama stabilitas nasional pada akhirnya bangsa kita harus merana dalam 32 Tahun kunkungan otoritarianisme Soeharto?

Munir menjadi contoh yang sangat baik betapa dirinya yang “Arab” dan Suciwati yang “Jawa” dapat bersatu. Mereka berdua bertemu pada satu titik yang sama yakni penghargaan bagi kemanusiaan.

Dulu membela korban kini menjadi korban

Buku ini sedikit banyak menjelaskan situasi di ruang-ruang personal seorang Munir ketika bergelut dalam aktivisme hak asasi manusia. Gelisah, resah, dan galau menjadi teman akrab Munir hampir di setiap saat aktivitasnya membela korban.

Namun, kecintaannya pada kemanusiaan melampaui emosi personalnya. Munir menghadapi eskalasi kekerasan dari level personal hingga level nasional. Dari lingkaran terdekat korban yang bisa saja tidak terima dengan pembelaan Munir hingga negara via aparatus kekerasannya.

Di sinilah kehebatan Munir. Ia mampu meletakkan kemanusiaan yang dipercainya melampaui batas-batas profesionalismenya. “Kejahatan yang dilakukan oleh suatu negara-bangsa, atau atas nama kemajuan dan pembangungan, akan berkurang hanya jika kita mampu mengenali diri kita sendiri sebagai bagian dari takdir manusia lain”.

Munir paham betul konsep manusia sebagai makhluk sosial. Dirinya begitu memaknai betapa manusia memang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Munir paham bahwa perjuangan membela hak asasi manusia harus melampaui batas-batas personal cum professional semata. Dengan kata lain, tidak ada tawar menawar dan menjadi keharusan untuk bersolidaritas sesama umat manusia. Munir mungkin saja memaknai betul ajaran Nabi khairunnas anfauhum linnas, sebaik-baiknya manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lain.

Munir memang dikenal pernah menjadi bagian dari HMI. Ia bahkan masih sering memberi sumbangsih bagi HMI bahkan ketika sudah tidak lagi tinggal di Malang. “Ketika saya berani shalat, konsekuensinya saya harus berani memihak yang miskin dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak berpihak kepada yang tertindas”.

Munir melepaskan diri jebakan ritus keagamaan semata dan tidak menjadi sosok split personality yang memisahkan urusan agama dan sosial. Hal ini sesuai dengan NDP (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan) HMI merupakan landasan ideologis HMI. Munir paham betul bahwa bersyahadat adalah melepaskan segala belenggu tuhan-tuhan (dengan t kecil) dan berserah sepenuhnya bagi Tuhan (T kapital) yang benar-benar memiliki sifat ketuhanan itu sendiri. “HMI adalah istri pertama Munir” tulis Suciwati dalam buku ini. Kesal, tetapi sekaligus gambaran nyata Munir yang mewakafkan hidupnya membela korban.

Rekam jejak Munir membela korban pada akhirnya berujung kematian. Namun, apakah kita semua dapat memaknai kematian Munir merupakan bagian dari takdir hidup kita? Apakah kematian Munir adalah takdir yang mengharuskan kita Manusia Indonesia untuk semakin teguh memperjuangkan kemananusiaan? Bukankah Munir adalah korban? Lantas jika Munir mati bukankah “hanya orang yang hidup yang bisa membela orang mati”?

Munir tewas ketika dirinya hendak melanjutkan pendidikan di Universitas Utrecht. Tan Malaka menyampaikan bahwa “Tujuan Pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”. Munir telah purna sebagai aktivis cum intelektual.

Riyadh Putuhena
Riyadh Putuhena
Law Student, Ketua Bidang Otonomi Daerah Badko HMI Jawa Timur 2022-2023, Peneliti YLBHI-LBH Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.