Rencana pemerintah Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat memangkas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan, maraknya tindak pidana korupsi membutuhkan upaya ekstra untuk memberantasnya dan menghukum pelaku semaksimal mungkin. Untuk itu, ketimbang melakukan revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002, jauh lebih bermanfaat jika Presiden Jokowi segera mengeluarkan Surat Presiden agar RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam bisa dibahas oleh pemerintah dan DPR-RI.
Seperti diketahui, DPR telah memiliki draf final RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Di dalam draf tertanggal 27 Agustus 2015, skema perlindungan dan pemberdayaan didasarkan kepada situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing subyek hukum, yakni nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.
“Saat ini RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dalam status pembahasan tingkat pertama antara pemerintah dengan DPR-RI. Pembahasan ini bisa dimulai jika Jokowi memberikan surat,” kata Halim di Jakarta, Selasa (13/10). “Sayangnya, sampai pertengahan Oktober 2015, surat yang ditunggu oleh DPR tak kunjung ada. Untuk itu, kita mendesak Jokowi untuk menyegerakan adanya surat presiden.”
Dia menambahkan, poros maritim dunia yang digaungkan oleh pemerintah Jokowi tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat pesisir, apabila pelaku kelautan dan perikanan skala kecil tidak mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan dari negara.
“Tanpa komitmen memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, pemerintah Jokowi serta partai penguasa pengusungnya hanya omong kosong belaka berkenaan dengan poros maritim dunia,” tegas Halim.
Direktur Centre For Budget Analysis Uchok Sky Khadafi mengatakan, tak ada yang salah dari UU KPK. Pasalnya, dalam UU itu disebutkan bahwa Komisi ini dibentuk karena penegakan hukum secara konvensional guna memberantas korupsi terhambat. Jadi, UU KPK memberikan kekhususan kepada lembaga antirasuah tersebut. “KPK itu spesialis pemberantasan korupsi. Jika dipangkas, ia jadi macan ompong,” kata Uchok.
Sebelumnya, enam fraksi di DPR mendukung revisi UU KPK: Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Golkar, Fraksi PPP, dan Fraksi Hanura. Henry Yosodiningrat dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan, revisi UU KPK menjadi sebuah kebutuhan. Sebab, ada perubahan signifikan dalam kondisi masyarakat di awal penyusunanan UU KPK dengan kondisi saat ini.
Dia juga menyesalkan adanya kalangan yang berasumsi bahwa DPR mau melemahkan KPK ketika muncul wacana revisi UU KPK. Padahal, revisi tersebut diperlukan untuk menjadikan Indonesia negara yang lebih bersih dari praktik korupsi.