Pemerintah telah menetapkan penerimaan pajak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 sebesar Rp 1.360 triliun. Jumlah tersebut naik sebesar Rp 66 triliun dari target penerimaan pajak 2015 sebesar Rp 1.294 triliun. Berbagai kalangan menilai target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah pada 2016 tersebut terlalu tinggi.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, pesimistis dengan target pajak yang ditetapkan pemerintah untuk tahun depan bisa tercapai. Pasalnya, pada 2015 saja ada kekurangan pajak (short fall) yang jumlahnya mencapai Rp 160 triliun. Tidak menutup kemungkinan pada 2016 nanti justru kekurangan pajak akan semakin meningkat.
“Apabila target penerimaan pajak 2016 naik 5,74 persen dari realisasi penerimaan pajak 2015, maka akan ada kenaikan short fall sebanyak 30 persen. Terlebih kekurangan pajak pada 2015 diperkirakan meleset menjadi 25 persen dari target penerimaan pajak 2015,” kata Yustinus ketika ditemui di Jakarta, (16/12).
Menurut Yustinus, jika nanti terjadi kekurangan pajak yang terlalu dalam, terlebih penerimaan pajak 2016 ditargetkan terlalu tinggi, ini tentu akan sangat berbahaya. Dampaknya pemerintah akan menambah utang lagi, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mendanai proyek-proyek pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
“Memang, sejauh ini ratio utang kita terhadap produk domestik bruto masih aman. Namun, kemampuan kita untuk membayar utang-utang itu justru semakin lemah. Itu karena kurs mata uang dolar Amerika Serikat terus menguat terhadap rupiah,” kata Yustinus.
“Jika terus dibiarkan dampaknya utang Indonesia akan semakin meningkat. Pemerintah seharusnya keluar dari jebakan utang dengan menuju kemandirian. Tingkat kewaspadaan terhadap utang-utang ini harus disadari lebih awal.”
Karena itu, kata Yustinus, perlu adanya revisi target penerimaan pajak melalui APBN-Perubahan. Pemerintah diharap dapat bersikap realistis dalam menentukan penerimaan pajak pada 2016. Terlebih kondisi perekonomian Indonesia pada tahun depan masih belum stabil. Indonesia masih bergantung pada komoditas. Sementara harga komoditas di pasar global cenderung masih rendah.
“Pemerintah harus belajar dari kekurangan pajak terdahulu sebelum menentukan target penerimaan pajak. Alih-alih penerimaan pajak bertambah, yang terjadi justru kekurangan pajak yang kian bertambah,” kata Yustinus.