Kabut asap yang melanda sejumlah daerah di wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan bencana yang kerap terjadi setiap tahunnya. Kebakaran hutan dan lahan menjadi faktor utama dari timbulnya kabut asap di wilayah tersebut. Karena itu, pemerintah diminta bergerak cepat untuk segera menanggulangi permasalahan tersebut.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI Intsiawati Ayus mengatakan, upaya penanggulangan yang dilakukan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat begitu lambat. Dalam bencana kabut asap, pemerintah seolah menganggap hal itu menjadi sesuatu yang biasa terjadi setiap tahunnya. “Padahal, bencana ini sudah terjadi sejak 17 tahun lalu dan muncul akibat perbuatan ulah manusia,” kata senator yang mewakili Provinsi Riau ini.
Dia menilai, kabut asap muncul karena hutan dibakar oleh kawanan oknum. Mereka yang membakar kerap menjadi suruhan para perusahaan-perusahaan besar perkebunan kelapa sawit. Karena itu, sudah seharusnya bencana kabut asap ini ditanggapi serius oleh semua pihak. Pemerintah harus tegas kepada perusahaan-perusahaan yang menjadi biang keladi bencana kabut asap ini.
“Sudah sekian lama sepi penegakan hukum terhadap pelaku yang terlibat pembakaran hutan. Saat ini momentum tepat bagi pemerintah menghukum berat para pelaku. Tidak hanya pelaku utama, tapi juga otak di balik pembakaran itu, yakni perusahaan perkebunan sawit. Pemerintah harus cabut izin usaha mereka,” katanya di Jakarta, Kamis (17/9).
Sejauh ini pihak kepolisian sudah menetapkan tujuh perusahaan yang terlibat dalam kasus pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Ketujuh perusahaan itu adalah PT RPP, PT BMH, PT RPS di Sumatra Selatan, PT LIH di Riau, PT GAP, PT MBA dan PT ASP di Kalimantan Tengah. Selain menetapkan ketujuh perusahaan itu sebagai tersangka, 20 perusahaan lainnya masih dalam proses penyidikan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, lahan yang terbakar ada di beberapa wilayah di antaranya Kalimantan Barat (1), Riau (10), Jambi (2), Kalimantan Tengah (7) dan Sumatera Selatan (4). Itu terdiri dari sawit (9), akasia (3), karet (2) semak-semak (10). Dari 24 obyek itu, yang teridentifikasi perusahaan ada 14.
Menurut Intsiawati, dalam kasus pembakaran hutan, ada tiga sanksi yang bisa dikenakan kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat. Yaitu, sanksi pidana, perdata, dan administrasi. Dari sisi pidana dan perdata merupakan wilayah kewenangan penegak hukum untuk memprosesnya. Namun, sanksi administratif menjadi kewenangan pemerintah.
“Untuk itu, tak perlu menunggu persidangan pidana dan perdata. Pemerintah bisa langsung menjerat perusahaan yang dinyatakan tersangka dengan dijatuhi sanksi administrasi. Cabut segera izin usaha mereka,” tuturnya. “Ingat kebakaran hutan ini juga akibat pemerintah sendiri yang telah memberi kavling-kavling (hutan) kepada mereka.”