Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai restorasi berbasis landscape yang digembar-gemborkan oleh forum The Global Landscape 2015 merupakan solusi palsu dalam penyelamatan lingkungan. Pasalnya, inisatif tersebut hanya merupakan greenwashing atau cara korporasi untuk mempromosikan atau mempersepsikan kepada masyarakat seolah produk mereka ramah lingkungan.
Musri Nauli, direktur Walhi Jambi, mengatakan ada lima provinsi di Indonesia yang dijadikan lokasi inisiatif restorasi berbasis lanskap oleh korporasi yang selama ini bergelut di sektor sumber daya alam, baik kehutanan maupun perkebunan. Lima provinsi itu di antaranya Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
“Namun, upaya restorasi tersebut tidak lebih hanya upaya greenwashing dari korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam. Indikasi kegagalan mereka dapat dilihat dari kebakaran dan bencana ekologis lainnya, termasuk konflik dan kemiskinan,” kata Musri berdasarkan keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Selasa (8/12).
Dia mengungkapkan, jika melihat wilayah lanskap yang, konon, akan dipulihkan oleh pihak korporasi, dari satu juta hektare lahan yang direstorasi tersebut, justru berada di luar area konsesi korporasi yang rusak dan atau terbakar. Ini artinya antara wilayah yang rusak dengan wilayah yang direstorasi berbeda.
“Sungguh aneh korporasi merusak di tempat lain, kemudian merestorasi di tempat yang lainnya,” katanya.
Menurut Musri, inisiatif lanskap ini merupakan bagian dari skenario korporasi untuk menguasai hutan dan lahan di Indonesia dengan mengatasnamakan restorasi. Selain itu, hal ini tentu juga berkaitan dengan modus pembentukan bank tanah, yang merupakan neoliberalisme gaya baru atau neoliberalisme “hijau”.
“Langkah ini merupakan cara korporasi dan elite politik yang menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan mereka,” tutur Musri.
Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, mengatakan selain kerusakan lingkungan, problem lain yang timbul akibat kegiatan rakus yang diciptakan korporasi di sektor kehutanan dan perkebunan adalah timbulnya konflik struktural negara. Yaitu keberadaan masyarakat yang dipaksa berhadapan langsung dengan korporasi besar.
“Inisiatif lanskap ini menjadi pertanyaan besar. Bagaimana mungkin cara tersebut dapat menyelesaikan konflik, selama ini justru yang menjadi aktor atau bagian dari timbulnya konflik adalah korporasi-korporasi tersebut,” kata Hadi.
Dia menjelaskan, komitmen nol deforestasi pada 2020 yang dikampanyekan oleh sejumlah korporasi, misalnya, sampai saat ini belum terbukti adanya upaya untuk mencapai ke arah sana. Yang terjadi justru upaya deforestasi dengan cara pembakaran kerap dilakukan korporasi.
“Banyak titik api justru ditemukan di wilayah konsesi yang menjadi komitmen wilayah nol deforestasi,” kata Musri.
Selain itu, Walhi mengajak masyarakat atau konsumen untuk tidak terkecoh dengan “jualan” mereka, yang mengatasnamakan penyelamatan hutan dan gambut melalui donasi yang digalang korporasi kepada konsumen yang membeli produk mereka. Sesungguhnya ini cara korporasi untuk mengalihkan tanggung jawab kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh buruknya praktik bisnis yang mereka lakukan.