Rabu, Oktober 9, 2024

Program Bela Negara Perlu Ditinjau Ulang

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Prajurit TNI AD dari Batalyon Infanteri 400/Raider meneriakan yel-yel pasukan pada upacara penyambutan di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jateng, Selasa (20/10).
Prajurit TNI AD dari Batalyon Infanteri 400/Raider meneriakan yel-yel pasukan pada upacara penyambutan. ANTARA.

Program bela negara yang tengah digulirkan pemerintah melalui Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan akan diterapkan pada 22 Oktober 2015 dinilai tidak punya dasar aturan hukum yang jelas. Karena itu, pelaksanaan program tersebut perlu ditinjau ulang oleh pemerintah.

Wakil Ketua Setara Institue, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan, merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, keikutsertaan bela negara bagi warga negara meliputi pendidikan kewarganegaraan, pengabdian sesuai dengan profesi, pelatihan dasar kemiliteran, dan pengabdian sebagai prajurit TNI secara wajib atau sukarela.

Dalam undang-undang tersebut, dua komponen sudah berjalan sebagaimana mestinya, yaitu pendidikan kewarganegaraan sudah diterapkan di sekolah-sekolah melalui mata pelajaran. Pengabdian pada negara juga sudah dilakukan masyarakat melalui profesi masing-masing yang bisa membanggakan negara.

“Namun, aspek pelatihan kemiliteran ini yang menjadi problem. Sebab, perlu ada aturan lebih spesifik yang mengaturnya. Bentuknya  bisa undang-undang juga, tujuannya sebagai aturan komponen pendukung. Indonesia negara hukum dan ini prosedur yang tak bisa seenaknya diabaikan pemerintah,” kata Bonar di Jakarta, Rabu (21/10).

Dia menegaskan, program ini tidak bisa serta merta langsung dilaksanakan saat ini juga. Dewan Perwakilan Rakyat perlu merumuskan aturan undang-undang komponen pendukungnya terlebih dulu sebelum benar-benar diterapkan. Produk undang-undang ini nantinya juga sebagai pembatas kewenangan TNI dalam kehidupan bernegara. Jangan sampai TNI, karena memiliki wewenang besar nantinya, bisa masuk seenaknya menangani permasalahan sipil.

Sebab, pelibatan TNI dalam ranah sipil dan menjalankan fungsi keamanan operasi militer, selain perang yang hanya didasarkan pada MoU, itu bertentangan dengan Undang-Undang TNI Nomor 34/2004. Undang-undang tersebut ini tegas menyebutkan pelaksanaan tugas operasi militer selain perang harus didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara, bukan melalui MoU.

Menurut Bonar, program bela negara ini tidak jelas juntrungannya. Hal itu terlihat dari konsep dan pelaksanaannya yang sampai saat ini belum matang. Bahkan celakanya, sebagai pengusung program tersebut, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, juga Menteri Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan belum mengetahui pelaksanaan detailnya nanti bakal seperti apa.

Karena itu, kata Bonar, ketimbang mendorong program bela negara yang tentu akan menghabiskan anggaran cukup besar, lebih baik pemerintah menggunakan anggaran tersebut untuk peningkatan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Terlebih alutsista Indonesia masih jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain.

“Dengan peningkatan alutsista ini tentu akan bermanfaat pada program bela negara yang lebih konkret. Alutsista ini bisa digunakan untuk menjaga wilayah-wilayah perbatasan yang menjadi titik rawan kejahatan dari serangan musuh.”

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.