Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang telah dikeluarkan pemerintah keberadannya dinilai cacat hukum. Pasalnya, PP tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang juga mengatur tentang pengupahan.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Pratiwi Febry, mempertanyakan munculnya PP Pengupahan ini. Sebab, pemerintah melupakan asas keterbukaan lantaran tidak membuka ruang dialog kepada buruh dan melupakan mekanisme tripartit.
“PP yang mengatur tentang pengupahan yang besaran upahnya ditentukan oleh pemerintah pusat sangat bertolak belakang. Ini menunjukkan pemerintah telah menyimpang dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Tripartit terkait pengupahan,” katanya di Jakarta, Selasa (3/11).
Dia menjelaskan, dalam UU Ketenagakerjaan, terutama Pasal 89, menyatakan penentuan upah minimum dilakukan oleh gubernur setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi yang terdiri atas perwakilan buruh, pengusaha, dana bupati/wali kota.
“PP tentang Pengupahan ini jelas cacat secara formil karena bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Padahal, undang-undang sifatnya jauh lebih tinggi ketimbang PP,” tuturnya.
Menurut Pratiwi, PP Pengupahan yang dibentuk pemerintah sangat jelas menunjukkan bahwa keberpihakan pemerintah hanya kepada pengusaha, sementara nasib buruh terabaikan. Peraturan yang berat sebelah ini tentu menimbulkan ketidakpastian bagi buruh, namun tidak bagi pengusaha.
“Padahal dalam membuat suatu kebijakan pemerintah seharusnya tidak boleh berpihak kepada satu pihak saja. Kebijakan seharusnya dibuat secara adil dan tidak berlawanan satu sama lain,” tuturnya. “Karenanya pemerintah perlu mengakomodasi suara dari berbagai pihak. Sebab, hadirnya negara merupakan jalan tengah menyelesaikan masalah, bukan justru memperuncing masalah.”
Sementara itu, Indrasari Tjandraningsih, peneliti senior pusat analisis sosial dari Akatiga, mengatakan pemerintah tidak bisa serta merta menyamakan besaran upah minimum di setiap provinsi. Mengacu pada UU Ketenagakerjaan, upah minimum di setiap kabupaten berbeda karena pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL) di setiap kabupaten juga berbeda.
“Maka, tak heran jika masih ada beberapa daerah yang menyatakan tidak mengikuti anjuran pemerintah pada tahun depan. Dalam menentukan besaran upah, Bandung, Sidoarjo, dan beberapa daerah lainnya, misalnya, tidak mengacu pada PP Nomor 78 ini. Karena memang kebutuhan di masing-masing daerah berbeda,” kata Indrasari.