Jumat, Maret 29, 2024

Potensi Pendapatan Pajak Hunian Mewah Menurun

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Pekerja mengerjakan pembangunan proyek rumah tinggal di Perumahan The Taman Dhika Ciracas, Jakarta, Rabu (26/8). Perumahan dengan konsep town house dua lantai yang dikembangkan PT Adhi Persada Properti (APP) ini dibangun di atas lahan seluas sekitar 8.400 meter persegi dengan jumlah 35 unit. ANTARA FOTO/Audy Alwi
Pekerja mengerjakan pembangunan proyek rumah tinggal di Perumahan The Taman Dhika Ciracas, Jakarta, Rabu (26/8). Perumahan dengan konsep town house dua lantai ini dibangun di atas lahan seluas sekitar 8.400 meter persegi dengan jumlah 35 unit. ANTARA FOTO/Audy Alwi

Setelah menuai sejumlah kontroversi soal batasan harga properti yang terkena pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), Kementerian Keuangan akhirnya memutuskan mengenakan PPnBM untuk properti beharga di atas Rp 10 miliar. Kebijakan itu untuk menghapus spekulasi bahwa PPnBM untuk properti Rp 2 miliar atau Rp 5 miliar.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dalam kondisi ideal PPnBM sebesar Rp 5 miliar dinilai cukup pas. Sebab, pangsa pasarnya tergolong mewah. Dan harga tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan Bank Indonesia.

“Kalau mengikuti ide Pak Menteri, PPnBM sebesar Rp 10 miliar itu sama saja dengan tidak mengenakan pajak apa-apa kepada properti. Bahkan bukan meningkatkan pendapatan pajak tapi kehilangan potensi pajak,” kata Yustinus dalam diskusi “PPnBM Properti, Kebijakan yang Sudah tepat atau Blunder?” di Jakarta Timur, Selasa (22/9).

Berdasakan hasil riset CITA, kalau pemerintah menetapkan PPnBM sebesar Rp 10 miliar, maka pendapatannya 1%. Kalau Rp 5 miliar, maka pendapatannya 5%. Sementara itu, jika pemerintah menetapkan Rp 1,5-2 miliar, maka pontensi pedapatannya mencapai 25% atau Rp 9 triliun. Jadi, lanjut Yustinus, pemerintah harus benar-benar mengamati perilaku properti.

Dia juga menjelaskan bahwa isu PPnBM bukan isu yang baru, sebab sudah berkali-kali timbul dan tenggelam dan menjadi sekadar isu. Akan tetapi isu seperti ini akan menuju titik keseimbangan. “Ini juga merupakan kelesuan ekonomi, tapi bahasa halusnya turbulensi menuju titik keseimbangan baru. Karena itu, pemerintah harus memberi kepastian agar kita mengetahui arahnya,” kata Yustinus.

Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, mengatakan ketika properti sedang bo0ming, mereka disanjung. Kini, ketika terjadi pelambatan ekonomi, pihak pengembang properti terus ditekan dengan PPnBM.

“Semakin pemerintah menekan pengembang properti, mereka semakin menghindar dari kewajiban membayar pajak atau membuat cara agar tidak terkena kewajiban tersebut. Jadi, jangan membuat kebijakan tanpa membuat kajian,” kata Ali.

Berdasarkan data Indonesia Property Watch, pada tahun 2009 terjadi kenaikan percepatan properti. Namun tiga hingga empat tahun setelah percepatan properti, terjadi penurunan penjualan 60% pada 2014.

Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh Sulistyo Wibowo mengatakan, perpajakan di Indonesia punya peran penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Penerimaan pajak akan mempengaruhi segala sektor. Karena harus ada uang yang digunakan untuk pembangunan. Namun pada tahun ini, dimulai tahun 2014, terjadi penurunan ekonomi dan menimbulkan pengaruh yang kurang menguntungkan. Dari sisi pajak, PPn tergantung pada kegiatan ekonomi. Banyak penyerahan akan naik, kalau turun otomatis turun,” kata Sulistyo.[*]

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.