Intitusi Polri diminta menarik surat edaran mengenai ujaran kebencian atau hate speech. Pasalnya, surat edaran tersebut dinilai sarat kontroversi. Sebab, ada beberapa aturan yang dinilai sangat multitafsir yang bisa disalahgunakan oleh aparat kepolisian dalam menindaklanjuti penanganan ujaran kebencian.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum Pers, Asep Komarudin, mengatakan dia sangat mengapresiasi langkah pihak kepolisian yang mengatur tentang ujaran kebencian yang masih kerap terjadi di masyarakat. Hal tersebut memang perlu diatur, terlebih masyarakat Indonesia begitu majemuk baik suku, ras, maupun agama.
“Namun demikian, penanganan hate speech perlu ada aturan dan mekanisme yang jelas. Beberapa aturan yang tercantum dalam surat edaran tersebut sangat rawan disalahgunakan, seperti masuknya poin penghinaan, pencemaran nama baik, berita bohong, dan perbuatan tidak menyenangkan,” kata Asep ketika ditemui di Jakarta, Selasa (10/11).
Menurut dia, poin-poin tersebut merupakan aturan yang sangat multitafsir. Terlebih tidak ada penjelasan dan kriteria yang lebih rinci. Ujaran kebencian seperti apa yang berhak ditangani pihak kepolisian. Karena tidak ada aturan yang jelas ini, pihak kepolisian bisa berlaku sewenang-wenang kepada masyarakat dengan berlandaskan pada surat edaran tersebut.
Sementara itu, Miko Susanto Ginting, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), mengatakan surat edaran yang dikeluarkan Polri bukan suatu peraturan perundang-undangan. Karenanya, perlu didefinisikan terlebih dahulu makna dan konteks dari ujaran kebencian tersebut.
Menurut Miko, konteks ujaran kebencian merupakan hal yang dilakukan dengan berbasis pada kelompok, bukan pribadi perorangan. Artinya, orang yang melakukan ujaran kebencian ini mewakili kelompok tertentu. Biasanya kelompok mayoritas. Hal ini sangat berbeda dengan penghinaan pribadi.
“Karenanya, surat edaran Polri ini ada kerancuan makna ihwal ujaran kebencian yang sesungguhnya. Akibatnya, pada implementasinya nanti juga sangat dikhawatirkan menjadi bias,” kata Miko.
Selain itu, dia mempertanyakan upaya Polri yang memasukkan salah satu poin dalam surat edaran tersebut, yaitu perbuatan tidak menyenangkan. Poin tersebut secara hukum tidak sah dimasukkan dalam aturan tersebut, apalagi diimplementasikan di lapangan dalam menangani ujaran kebencian.
“Sebab, secara hukum aturan mengenai perbuatan tidak menyenangkan sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” katanya. “Lantas mengapa Polri justru kembali menggunakan aturan tersebut dalam surat edarannya itu.”
Seperti diketahui, Polri telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian sejak 8 Oktober 2015. Hal itu dilakukan salah satunya untuk menyikapi semakin maraknya ujaran kebencian di dunia maya yang dikhawatirkan bisa memicu keresahan dan konflik di masyarakat.