Selasa, Oktober 8, 2024

Pola Transaksional Pemerintah dan DPR di Balik APBN 2016

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Tampak atas gedung Nusantara di dalam komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/11). DPR mengalokasikan anggaran sebesar Rp740 Miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang diprioritaskan membangun gedung untuk ruang kerja anggota DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama/15.
Gedung Nusantara di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/11). DPR mengalokasikan anggaran sebesar Rp 740 miliar dalam APBN 2016 yang diprioritaskan membangun gedung untuk ruang kerja anggota DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama/15.

Pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 diduga terjadi pola transaksional antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasalnya, dalam pembahasan RAPBN 2016 cenderung tidak transparan dan sangat rawan menjadi bancakan para elite politik.

Manajer Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Apung Widadi, mempertanyakan DPR yang mengusulkan tambahan anggaran kepada pemerintah sebesar Rp 740 miliar. Anggaran itu muncul secara tiba-tiba di saat pembahasan RAPBN 2016. Peruntukan anggarannya pun tidak dijelaskan secara terperinci bakal digunakan untuk apa.  Dan celakanya, pemerintah justru mengabulkan anggaran yang diminta DPR itu.

“Pengesahan RAPBN 2016 oleh DPR, karena pemerintah menyetujui anggaran permintaan DPR yang diduga untuk pembangunan gedung baru DPR. Pemerintah takut rancanagan anggaran untuk tahun depan ditolak jika tidak mengabulkan permintaan DPR,” kata Apung ketika ditemui di Jakarta.

Hal ini, kata Apung, menunjukkan pembahasan RAPBN bukan hanya tidak partisipatif lagi, melainkan juga masih ada pola-pola politik transaksional antara DPR dan pemerintah. Adanya politik transaksional ini tentu bukan tidak mungkin akan melahirkan rente politik di DPR. “Kemungkinan adanya peluang penyelewenagan uang negara dalam hal ini sangat besar.”

Sementara itu, peneliti Indonesia Budget Center Roy Salam mengatakan pembahasan RAPBN 2016 yang cenderung tertutup melahirkan pengesahan anggaran siluman sebesar Rp 740 miliar yang disinyalir untuk pembangunan gedung baru DPR. Pembahasan RAPBN yang tidak transparan ini tentu bertentangan dengan pakta integritas yang baru dicanangkan DPR bersama lembaga pemerintah terkait.

“Ini sangat bertolak belakang. DPR mendorong agar pemerintah lebih transparan dan bebas korupsi. Tapi DPR sendiri tidak terbuka soal anggaran pembangunan gedung baru. DPR tidak memberikan penjelasan digunakan untuk apa saja dana tambahan Rp 740 miliar itu. Detail biaya pembangunan pun publik tidak diberitahu,” kata Roy.

Roy juga mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak konsisten menolak pembangunan gedung baru DPR. Wacana pembangunan gedung baru DPR sebelumnya mencuat pada Agustus 2015 lalu. Namun, ketika itu pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menolak usulan pembangunan gedung tersebut.

“Karena itu, hal ini jelas menjadi pertanyaan besar kenapa akhirnya pemerintah mengabulkan permintaan DPR di saat APBN 2016 dibahas. Padahal, desakan publik yang menolak seharusnya dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah,” tuturnya.

“Terlebih saat ini keuangan negara juga sedang tidak stabil. Seharusnya yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah bersinergi dan bekerja keras bersama-sama untuk memperbaiki stabilitas ekonomi.”

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.