Dewan Perwakilan Rakyat hingga kini belum melakukan pembahasan terkait revisi Undang-Undang Penyiaran. Padahal, revisi undang-undang tersebut masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Karenanya, revisi diperlukan untuk mengubah beberapa aspek yang menyangkut kepentingan publik
Ade Armando, pakar komunikasi Universitas Indonesia, mempertanyakan kinerja DPR yang tidak maksimal selama satu tahun berjalan. Banyak undang-undang yang sampai sekarang tidak pernah dibahas oleh DPR. Salah satunya adalah UU Penyiaran yang saat ini punya banyak permasalahan.
“Saya duga kuat, ditundanya pembahasan revisi UU Penyiaran oleh DPR karena ada kepentingan para pemilik modal televisi. Mereka pada dasarnya tidak ingin melaksanakan apa yang ada dalam mandat UU Penyiaran,” kata Ade ketika ditemui di Jakarta.
Dia mengungkapkan, ada beberapa masalah pada UU Penyiaran saat ini yang harus segera direvisi. Pertama, ihwal sistem siaran berjaringan. Menurut Ade, dalam sistem jaringan setiap stasiun televisi swasta memiliki jangkauan siaran terbatas sesuai dengan wilayah jangkauan siaran yang telah ditetapkan.
“Jadi, sebuah stasiun televisi di Jakarta, jangkauan siarannya adalah Jakarta dan sekitarnya. Begitu juga kota-kota lainnya. Tidak ada lagi stasiun televisi swasta nasional yang siarannya dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia secara langsung hanya dengan menggunakan stasiun relai atau transmitter saja. Satu-satunya lembaga penyiaran televisi yang diizinkan melakukan siaran nasional secara langsung adalah TVRI.”
Kedua, pemusatan kepemilikan. Selama ini sistem sentralistis sangat menguntungkan para pemilik modal media secara ekonomi. Sebab, belanja iklan yang berjumlah lebih dari Rp 20 triliun sepenuhnya dikuasai mereka yang ada di Jakarta. Padahal, media penyiaran beroperasi menggunakan jaringan frekuensi yang merupakan milik dan ranah publik. Karenanya, harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.
“Apa yang terjadi saat ini telah mengingkari asas manfaat tersebut. Stasiun-stasiun televisi nasional di Jakarta dapat menjangkau lebih dari seratus juta rakyat Indonesia dengan memanfaatkan frekuensi siaran di berbagai wilayah, tanpa membawa manfaat apa-apa bagi masyarakat daerah, baik secara ekonomi, politik, budaya dan sosial.”
Selain itu, kata Ade, menyangkut materi konten siaran, masyarakat daerah punya kewenangan untuk meminta stasiun televisi lokal menampilkan materi sesuai kebutuhan setempat, serta menolak jika ada siaran yang bertentangan dengan budaya mereka. Dengan begitu, stasiun televisi di Jakarta tak lagi bisa memaksakan masyakat di luar Jakarta dengan isi siaran yang sepenuhnya didikte dari Jakarta.
Ketiga, Komisi Penyiaran Indonesia seharusnya memiliki tugas tidak hanya berperan sebagai pengawas materi siaran stasiun-stasiun televisi. Kewenangan KPI seharusnya juga sebagai regulator yang bisa memberikan sanksi kepada stasiun televisi apabila didapati melanggar peraturan.
“Jika tidak bisa menjadi regulator, keberadaan KPI akan sangat percuma. Keberadaannya tak lebih hanya sebagai pemborosan anggaran negara saja. Karena itu, kalau tidak bisa menjadi regulator lebih baik dibubarkan saja.”