Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk menunda Pemilu 2024, Kamis, (2/3). Perintah tersebut tertuang dalam putusan perdata yang dibacakan oleh Majelis Hakim terhadap gugatan yang diajukan Partai Prima dengan tergugat Komisi Pemilihan Umum.
Lebih jauh salinan putusan tersebut menjelaskan, bahwa Majelis hakim menghukum KPU sebagai tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari.
Menanggapi hal tersebut, Galang Taufani, Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (2/3), mengatakan bahwa Hakim salah menerapkan hukum terhadap gugatan Partai Prima yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) terhadap Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu oleh KPU.
”Jika melihat putusan tersebut, harusnya hakim menolak gugatan yang berisi petitum dan posita yang tidak sinkron karena sudah jelas bertentangan dengan sistem pemilu yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.”
Dalam konteks putusan yang menyatakan bahwa menghukum tergugat dalam hal ini KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari, Galang menilai Hakim tidak bisa serta memutuskan hal demikian karena bertentangan dengan undang-undang yang ada dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan kewenangan KPU.
”Pemilihan umum adalah adalah perintah UUD dan sudah diatur dalam aturan turunan perturan perundang-undangan, tidak boleh serta-merta putusan hakim mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini bisa merusak ekosistem pemilu yang sudah ada.”
Menambahkan Galang, Manajer Riset dan Program TII, Arfianto Purbolaksono, memandang bahwa konsekuensi dari putusan ini bisa saja dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang memimpikan penundaan Pemilu. Jangan sampai pasca putusan ini memunculkan ketidakpastian secara hukum maupun politik. Tentunya ini akan merugikan jalannya demokrasi di negeri ini.
Menutup keterangannya, baik Galang dan Arfianto menyatakan bahwa putusan ini harus disikapi dengan tepat oleh KPU, dan stakeholder lainnya mengingat penyelenggara pemilu telah melaksanakan tahapan-tahapan pemilu yang sudah berjalan sampai sejauh ini.