Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Garam. Terbitnya aturan impor garam untuk konsumsi dan industri membuktikan pemerintah tidak berpihak kepada petani garam.
“Pemerintah belum berpihak kepada rakyat. Produksi garam petani yang berlimpah tidak diserap oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Garam,” kata Sekretaris Jenderal Persatuan Petani Tambak Garam Seluruh Indonesia Muhammad Sarli saat dihubungi di Jakarta, Senin (25/1).
Dia menambahkan, adanya impor garam membuat petani mati. Sebab, dengan harga garam sekarang Rp 250 sampai Rp 300 per kilogram saja PT Garam tidak menyerap, apalagi datangnya impor garam. “Sudah jatuh, tertimpa tangga lagi,” ujar Sarli.
Pihaknya mencatat, untuk daerah Indramayu, ada 20 ribu ton garam yang belum terserap. Itu belum termasuk di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lombok. Karena itu, pihaknya meminta pemerintah turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selama ini, lanjut dia, para petani berjalan sendiri-sendiri untuk mencari rekan kerja agar hasil garamnya terjual, meski dengan harga tidak sesuai.
“Petani mencari rekan kerja swasta untuk menyerap garamnya. Itu pun tidak semua garam diterima oleh perusahaan swasta,” kata Sarli. Karena itu, pihaknya berharap PT Garam bisa seperti Bulog menyerap beras petani. Dia menambahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mendukung garam petani dengan berbagai kebijakan, akan tetapi Kementerian Perdagangan tidak mendukungnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, aturan Menteri Perdagangan bertentangan dengan Nawacita Jokowi agar urusan garam diurus oleh bangsa sendiri.
“Adanya perubahan aturan ini mencederai mandat yang diberikan oleh Presiden Jokowi. Apalagi aturan ini akan mematikan sentra-sentra produksi garam nasional,” kata Halim.
Seperti diketahui, pengelolaan garam dengan pelbagai kewenangannya terbagi ke dalam 4 kementerian/lembaga, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (meningkatkan mutu garam rakyat), Kementerian Perindustrian (melakukan pendataan jumlah produksi garam nasional dan memberikan rekomendasi impor), Kementerian Perdagangan (mengeluarkan izin impor garam), dan PT Garam (BUMN yang bertugas memproduksi berdasar mandat APBN dan menyerap garam rakyat).
“Lagi-lagi kita dipertontonkan oleh tidak kompaknya kementerian/lembaga negara menjalankan mandat dari Presiden Jokowi terkait cita-cita kedaulatan garam nasional,” kata Halim. “Bahkan aturan yang diterbitkan bertentangan. Lebih parah lagi, aturan ini membolehkan garam yang diimpor adalah konsumsi dan industri kapan pun, termasuk saat panen garam rakyat.”
Menurutnya, di sinilah pentingnya peran dari masing-masing kementerian/lembaga untuk berkoordinasi dengan target utama meningkatkan kualitas dan harga garam rakyat agar bisa dipergunakan untuk konsumsi maupun industri. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Perdagangan, peluang yang bisa dimanfaatkan untuk menghentikan impor garam adalah rencana kebutuhan garam industri ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga terkait.
Hal lainnya, lanjut Halim, Menteri Kelautan dan Perikanan bisa menghentikan importasi garam konsumsi dengan cara memberikan rekomendasi kepada PT. Garam selaku BUMN yang bergerak di bidang usaha pergaraman (Pasal 12) agar memprioritaskan hasil panen garam rakyat untuk dikelola di dalam negeri.
Karena itu, Kiara mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sesegera mungkin melakukan langkah-langkah strategis di atas agar Nawacita tidak dikubur lebih dalam oleh Menteri Perdagangan dengan menyerahkan pengelolaan garam sebagai komoditas penting bangsa yang dikelola secara penuh oleh pasar.