Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai rencana PT Lapindo Brantas melakukan pengeboran minyak dan gas di Sidoarjo kembali membuktikan bahwa status keselamatan ruang hidup rakyat belum menjadi pilihan utama bagi pemegang kebijakan dan kuasa modal.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Ony Mahardika mengatakan, rencana pengeboran PT Lapindo Brantas hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari area yang telah terkubur semburan lumpur Lapindo. Seharusnya kasus tragedi lumpur lapindo pada 2006 menjadi pembelajaran pemerintah. Sebab, ekplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk sangat mungkin berubah menjadi petaka.
“Tragedi Lumpur Lapindo rupanya tidak pernah menjadi pelajaran. Di tengah karut marut pemulihan dampak semburan lumpur Lapindo yang tidak kunjung tuntas, rencana pengeboran kembali oleh PT Lapindo Brantas di desa Kedungbanteng merupakan bukti kebebalan pengusaha dan penguasa dalam urusan pertambangan migas dan keselamatan rakyat,” kata Ony kepada Geotimes, Jumat (8/1).
Berdasarkan laporan ilmiah dari berbagai ahli pertambangan mengindikasikan bahwa aktivitas pengeboran PT Lapindo Brantas akibat kesalahan manusia. Menurut hasil penelitian Neal Adams Services pada 2006, ada 16 faktor kesalahan yang menyebabkan terjadinya lumpur Lapindo. Di antaranya, kurang kompetennya site supervisor Lapindo yang tak memahami baik prosedur perencanaan sumur bor, gagal menginterpretasikan data seismik, gagal mengetahui keberadaan rekahan dan tak mampu memilih site pengeboran yang aman dari pengaruh rekahan.
“Bahkan Neal Adams Services menyatakan tindakan PT Lapindo Brantas dalam mengatasi masalah teknis pada sumur BJP-1 mengarah pada tindakan kriminal yang membahayakan manusia dan lingkungannya,” kata Ony. Begitu pula dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang menunjukkan bahwa PT Lapindo Brantas menggunakan peralatan yang kurang memenuhi standar dan personel yang kurang berpengalaman.
Dia menambahkan pertambangan migas di kawasan padat huni adalah problem besar praktek pertambangan di Indonesia hari ini. Di Jawa Timur, praktek pertambangan di kawasan padat huni bukan sekali ini saja menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat di sekitarnya. Selain semburan lumpur Lapindo, ada kasus ledakan sumur migas Sukowati 5 di Bojonegoro yang menyebabkan 148 orang dirawat dan ribuan lainnya mengungsi.
“Ini bukti nyata ketidakpedulian pemerintah terhadap status keselamatan rakyat,” katanya. Ony menambahkan alasan PT Lapindo Brantas mengebor di wilayah darat Sidoarjo untuk membayar dana talangan yang dikucurkan pemerintah sangat tak mendasar. Pasalnya, konsesi blok Brantas berada di wilayah laut sangat luas. Mulai dari Mojokerto hingga perairan Probolinggo yang jauh dari permukiman warga. Seharusnya wilayah ini yang menjadi prioritas jika hendak melakukan pengeboran baru.
Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jatim Rere Christanto mengatakan, saat ini tidak ada satu pun mekanisme yang memastikan aset-aset sosial rakyat dan lingkungan aman atau dipastikan bisa segera dipulihkan jika terjadi bencana akibat kecelakaan migas.
“Bahkan belum ada satu pun pihak yang diseret ke pengadilan akibat kecelakaan migas yang menyebabkan korban di pihak rakyat,” ujar Rere. “Bagaimana mungkin pemerintah membiarkan satu perusahaan yang telah menyebabkan kehancuran serupa beroperasi kembali tanpa kajian menyeluruh terhadap status keselamatan rakyat.”
Walhi Jatim berharap pembiaran terhadap nasib yang menimpa masyarakat akibat pertambangan di kawasan padat huni seperti di Porong harus segera diakhiri. Rere menambahkan pemerintah seharusnya memikirkan mekanisme perlindungan warga di wilayah industri padat huni. “Karena itu, rencana aktivitas pengeboran kembali Lapindo layak ditolak,” tegasnya.
Seperti diketahui, pada 29 Mei 2006 di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi tragedi. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas 800 hektare di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Tak hanya itu, lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa dan sekitar 75 ribu jiwa terusir dari kampung halamannya.