Jumat, Mei 3, 2024

Pemerintah Langgar Hak Asasi Masyarakat Pesisir

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Masyarakat yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) melakukan aksi di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa (15/9). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah untuk membatal revitalisasi berbasis reklamasi wilayah Teluk Benoa dan menuntut pembatalan Perpres Nomor 51 tahun 2014 yang menjadi dasar hukum reklamasi Teluk Benoa, Bali. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Masyarakat yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) melakukan aksi di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa (15/9). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah membatalkan revitalisasi berbasis reklamasi wilayah Teluk Benoa dan menuntut pembatalan Perpres Nomor 51 tahun 2014 yang menjadi dasar hukum reklamasi Teluk Benoa, Bali. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Privatisasi sumber daya laut untuk kepentingan komersial telah menggusur keberadaan masyarakat pesisir dan menghilangkan akses mereka terhadap sumber-sumber penghidupannya. Inilah pelanggaran hak asasi manusia yang ditengarai dilegalisasi oleh pemerintah di banyak negara dengan label kawasan konservasi laut (marine protected areas), investasi pulau-pulau kecil, dan pembangunan hunian tepi laut (water front city).

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan, target kawasan konservasi laut seluas 20 juta hektare merupakan praktik pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat pesisir. Apalagi pemerintah mengklaim telah berhasil melakukan konservasi mencapai 16,5 juta hektare.

Situasi ini, Halim menambahkan, justru menghilangkan hak-hak konstitusional masyarakat pesisir lintas profesi, seperti nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya, dan pelestari ekosistem pesisir. Sebab, akses dan kontrol mereka terhadap sumber daya laut sebagai penopang kehidupan terhalangi.

Pusat data dan informasi Kiara (September 2015) mencatat sedikitnya 30 kabupaten/kota/provinsi di Indonesia menjalankan proyek reklamasi pantai untuk pembangunan hunian tepi laut. Di saat yang sama, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong hadirnya investasi asing di 40 pulau-pulau kecil selama tahun 2015-2016.

“Pemerintah menjadi aktor utama pelanggaran terhadap hak asasi masyarakat pesisir lintas profesi. Ironisnya, program privatisasi dan komersialisasi ini didukung oleh Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara Tahun 2015 dan 2016. Semestinya anggaran dipergunakan untuk memfasilitasi masyarakat pesisir lintas profesi menjalankan hak-hak asasinya yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan mendapatkan kemakmuran,” kata Halim di  Jakarta (21/9).

Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dengan empat indikator utama. Yakni: pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; kedua, tingkat pemerataan sumber daya alam bagi rakyat; ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun.

Tak hanya itu, tambah Halim, praktik privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut juga dialami oleh masyarakat nelayan skala kecil di Afrika Selatan. Yakni kawasan konservasi laut Langebaan yang diubah namanya menjadi West Coast National Park pada tahun 1973 melalui “Sea Fisheries Act” yang diperbarui pada tahun 1985 oleh Pemerintah Afrika Selatan.

Kawasan konservasi laut seluas 40 ribu hektare ini dibagi ke dalam 3 zona (A, B, dan C). Akibatnya, nelayan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut. Alih-alih dapat menjalankan profesinya, ancaman kriminalisasi justru kerap terjadi. Sedikitnya 3 nelayan Langebaan ditahan oleh aparat setempat.

Lebih parah lagi, perairan di zona B hanya bisa diakses oleh 3 orang saja dengan ketersediaan sumber daya ikan melimpah. Sementara sedikitnya 100-an keluarga nelayan yang tinggal di sekitar Teluk Saldanha ini tidak bisa memasuki perairan tersebut.

Atas kondisi ini, masyarakat nelayan Langebaan tidak tinggal diam. Saat ini mereka tengah menggugat Pemerintah Afrika Selatan untuk membebaskan 3 nelayan dan mencabut Sea Fisheries Act 1985 yang melegalisasi praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut, termasuk penetapan kawasan konservasi laut tanpa partisipasi masyarakat pesisir Langebaan.

“Saatnya pemerintah mengakhiri praktek privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut dan kembali ke jalan konstitusi: mengelola sumber daya laut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tegas Halim.

Seperti diketahui, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menerbitkan izin reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Dia beralasan, pembangunan itu untuk mengatasi banjir rob Jakarta. Begitu pula di Bali, PT Tirta Wahana Bali International akan mereklamasi pesisir Teluk Benoa seluas 700 hektare. Reklamasi tersebut juga didukung oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita).[*]

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.