Minggu, Oktober 6, 2024

Pemerintah Dinilai Salah Menyikapi Kasus Gafatar

Seorang prajurit TNI menyaksikan permukiman eks-Gafatar yang dibakar massa di kawasan Monton Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalbar, Selasa (19/1). Permukiman di lahan seluas 43 hektar tersebut dibakar sejumlah oknum masyarakat sebelum 796 warga eks-Gafatar berhasil dievakuasi pemda setempat. ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
Seorang prajurit TNI menyaksikan permukiman eks-Gafatar yang dibakar massa di kawasan Monton Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Selasa (19/1). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar hanyalah organisasi yang misinya untuk sosial budaya. Negara seharusnya juga melindungi kelompok minoritas, bukan malah menyingkirkannya. “Banyak yang mengatakan Gafatar itu menyimpang. Saya tidak punya clue kesalahan Gafatar itu apa, karena selama ini misinya untuk sosial dan budaya. Tidak ada agenda untuk fundamentalisme agama,” kata Ade Armando, analis komunikasi Universitas Indonesia, di Jakarta, Senin (25/1)

Menurut Ade, yang ada di masyarakat sekarang ini adalah kebencian terhadap Gafatar karena terus terasuki pemberitaan negatif oleh kebanyakan media. Media massa hanya memberikan informasi bias, berdasarkan statement tanpa verifikasi.

Seperti diketahui, Gafatar merupakan organisasi yang dideklarasikan pada awal 2012. Organisasi ini mencuat ke publik setelah peristiwa dokter Rica Tri Handayani yang dilaporkan hilang dan diculik pada 30 Desember 2015. Dokter Rica diduga bergabung dengan Gafatar.

Gafatar diasosiasikan sebagai kelompok sesat karena terindikasi berhubungan dengan Ahmad Mushaddeq yang dulu telah difatwakan sesat oleh MUI. Gafatar dianggap perpanjangan dari sekte Al-Qiyadah al-Islamiyah, Komunitas Millah Abraham (Komar), pimpinan nabi palsu Ahmad Mushaddeq. Namun dugaan tersebut masih belum terbukti.

Fatwa haram yang dikeluarkan MUI kepada Ahmad Mushaddeq memang ada. Namun, masalahnya belum ada riset maupun studi yang menyebut Gafatar sebagai reinkarnasi Al-Qiyadah al-Islamiyah. “Belum ada fatwa soal Gafatar. Yang ada fatwa atas Ahmad Mushaddeq,” ujar Syafiq Hasyim, Wakil Ketua Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia.

Hingga saat ini MUI pusat masih terus mengkaji status Gafatar. Namun, di beberapa daerah, masyarakat sudah telanjur menganggap Gafatar sebagai aliran sesat. Di Kalimantan, misalnya, pemukiman anggota Gafatar di Desa Moton Panjang, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, diberangus warga sekitar. Warga menolak keberadaan anggota Gafatar. Sedangkan di Aceh, pengurus Gafatar diadili dengan tuduhan menyebarkan aliran sesat.

Syafiq menilai peristiwa itu terjadi karena pemerintah ceroboh menyikapi keberadaan Gafatar. Pejabat dan aparatur negara juga dinilai tidak memahami permasalahan Gafatar secara menyeluruh. Hal ini menyebabkan soal sesat atau tidaknya Gafatar di masyarakat semakin keruh. “Pemerintah seharusnya tidak membuat pernyataan yang membuat keruh masyarakat karena dugaan sesat Gafatar,” ujar Syafiq.

Syafiq juga menilai fatwa apa pun yang dikeluarkan MUI tidak harus dipatuhi karena tidak memiliki legitimasi hukum. “Fatwa adalah pendapat hukum yang tidak mengikat. Tergantung dari aparatur negara untuk menyikapi fatwa MUI. Namun, selama ini fatwa yang dikeluarkan MUI disikapi pemerintah dengan cara yang salah.”

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.