Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Maruli Tua Rajagukguk, mengatakan pemerintah harus segera mereformasi institusi-institusi negara seperti Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia. Pasalnya, kinerja dan transparansi di dalam institusi-institusi tersebut saat ini sudah jauh melampaui dari harapan publik.
“Belum ada upaya untuk membangun pengawasan, kinerja yang transparan dan kredibel di dalam institusi-institusi tersebut. Di tubuh kepolisian, misalnya, saat ini merupakan lembaga yang paling banyak didapati sejumlah aliran uang ilegal yang beredar. Di tubuh TNI pun demikian,” kata Maruli kepada Geotimes di Jakarta, Rabu (16/12).
Dia menjelaskan, dalam melaksanakan penegakan hukum, misalnya, polisi masih gemar melakukan penyiksaan pada saat penyidikan. Hal ini dilakukan untuk mendapat pengakuan dari tersangka, dengan tujuan agar penanganan perkara dapat berjalan lancar dan singkat. Pada kasus Didit, misalnya, yang diduga membunuh saat tawuran. Penyidik kepolisian menyiksa Didit dan saksi-saksi lainnya untuk memperoleh pengakuan, dan akhirnya dalam waktu kurang dari 7 jam, penyidik sudah menuntaskan kasusnya.
Sementara di tubuh TNI, Maruli menjelaskan, langkah TNI tahun ini yang telah menyepakati 30 nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan lembaga negara serta pihak-pihak terkait. Nota kesepakatan ini membuat para menteri dan kepala lembaga negara lainnya memiliki kewenangan untuk menggunakan kekuatan TNI dalam hal apa pun.
Kesepakatan tersebut, menurut Maruli, merupakan kesempatan bagi TNI untuk menjadikannya sebagai bisnis, yakni bisnis pengamanan. Bukan tidak mungkin beredarnya uang yang sumbernya bukan dari keuangan negara akan mengalir ke tubuh TNI. Saat ini saja, misalnya, banyak ditemui di lapangan anggota TNI menjadi satuan pengaman dari perusahaan atau korporasi tertentu.
“Hal ini tentu dapat mengancam publik, terutama bagi buruh yang kerap berunjuk rasa. Nanti tidak menutup kemungkinan setiap ada unjuk rasa, baik oleh buruh maupun mahasiswa, TNI akan dilibatkan sebagai pengamanan. Akibatnya, kemungkinan terjadi tindakan represif yang menuai kekerasan sangat besar. Hal ini tentu memotong dan melanggar UU,” katanya.
Karena itu, kata dia, institusi yang seharusnya direformasi oleh pemerintah dan DPR adalah institusi Kepolisian dan TNI, bukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sampai saat ini pemerintahan Joko Widodo tidak tegas untuk menolak pelemahan KPK. Terbukti Presiden Jokowi belum menolak secara tegas upaya pelemahan KPK. Itu ditandai dengan adanya upaya revisi Undang-Undang KPK, bukan menolaknya. [*]