Merespons kondisi perekonomian yang terus memburuk, pemerintah Joko Widodo kembali mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Kali ini paket kebijakan jilid II dianggap terlalu berani. Selain memangkas perizinan investasi yang hanya memakan waktu 3 hari, pemerintah juga memberi banyak kelonggaran ihwal pengenaan pajak kepada investor.
Mengenai insentif pajak, beberapa poin dari paket kebijakan ekonomi jilid II menyebutkan, pemerintah akan memberikan keringanan pajak (tax allowance) dan membebaskan pajak (tax holiday) kepada investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, persyaratan untuk mendapatkan pemberian tax allowance dipangkas hanya menjadi 25 hari. Sedangkan tax holiday 45 hari.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development Economic and Finance Eko Listianto mengatakan, paket kebijakan ekonomi jilid II yang lebih banyak memberikan keleluasaan insentif pemotongan pajak tentu dapat berimbas mengurangi penerimaan negara dari pajak.
“Selain perlambatan ekonomi, dampak dari paket kebijakan ekonomi jilid II ini tentu berimbas pada target pajak tahun ini, yang kemungkinan besar tidak akan tercapai. Apalagi tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan pajak cukup tinggi, yakni sebesar Rp 1.294,25 triliun,” kata Eko. “Bahkan ini bisa membuat potensi pajak yang hilang (shortfall) melebihi dari perkiraan yang sudah ditetapkan sebelumnya.”
Sementara itu, Ah Maftuchan, peneliti kebijakan publik dari Perkumpulan Prakarsa, Jakarta, mengatakan paket kebijakan ekonomi jilid II yang memberikan insentif perpajakan seperti tax allowance dan tax holiday dapat disalahgunakan oleh beberapa pihak. Kebijakan tax holiday, misalnya, bisa menimbulkan maraknya kejahatan pajak oleh korporasi dengan cara memanipulasi pajak.
“Paket insentif pajak tersebut sebenarnya juga tidak banyak berpengaruh terhadap investasi. Yang terjadi justru banyak pihak memanfaatkan ancaman krisis melalui skema pemberian insentif pajak. Hal tersebut tentu mengakibatkan penerimaan negara akan semakin menurun,” ujar Maftuchan.
Seperti diketahui, hingga 31 Agustus 2015, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 598,270 triliun. Padahal, sesuai Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp 1.294,258 triliun. Itu artinya realisasi penerimaan pajak baru mencapai 46,22%.