Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan pihaknya belum bisa memberikan sanksi keras terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan yang mendapatkan dana dari perbankan nasional. Sebab, pihaknya berpedoman pada kekuatan hukum sehingga tak bisa melakukan eksekusi tersebut.
“Sudah ada kekuatan hukum tetap, baru kita eksekusi. Kita ingin menyelesaikan masalah ini tapi secara bertahap. Enggak bisa langsung menghentikan tiba-tiba, pasti kita dimarahi pemerintah,” kata Deputi Direktur Departemen Penelitian dan Pengaturan Bank OJK Edi Setijawan di Jakarta, Kamis (5/11).
Dia menjelaskan, untuk menyelesaikan masalah program keuangan berkelanjutan membutuhkan waktu yang panjang, yakni 5-10 tahun. Pasalnya, persiapannya dimulai dari nol. Contohnya, perusahaan belum memahami persoalan mendasar seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Mereka hanya tahu kalau ada dokumen masalahnya selesai. Padahal tidak demikian.
Karena itu, OJK juga mendorong perbankan untuk memberi pendanaan bagi program berkelanjutan. “Begitu pula dengan perusahaan, kami mendorong mereka ke arah itu. Jika OJK memaksakan kebijakan itu langsung bisa saja, tapi perusahaan merasa terpaksa dan itu tidak baik bagi semua,” katanya.
Edi menambahkan, untuk melaksanakan program itu, pihaknya telah mempersiapkan para pengawas perbankan dari OJK. Persiapan itu melalui peningkatan sumber daya manusia seperti pelatihan tentang environment dan sosial. Hari ini, misalnya, sudah ada 10 angkatan yang ikut pelatihan dan delapan di antaranya sudah menyelesaikan.
“Satu angkatan itu 40 orang. Jadi, 400 orang yang dipersiapkan OJK,” tegas Edi. Kemudian OJK telah melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kerja sama itu dalam bentuk alat tangkap nelayan yang ramah lingkungan dan OJK mendorong perbankan untuk memberikan bantuan itu.
Sementara itu, Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Pius Ginting mengatakan, OJK harus membuat inisiatif progresif. Tak hanya menunggu kekuatan hukum. Perlu standar lingkungan dalam pembiayaan perusahaan. Contohnya lembaga keuangan AXA tidak membiayai perusahaan yang tidak ramah lingkungan.
“Kebijakan AXA patut menjadi contoh dan inspirasi bagi perbankan Indonesia,” ujar Pius. Dia menegaskan, jika pemerintah atau perbankan nasional belum menerapkan program keuangan berkelanjutan, perlu desakan dari publik sehingga mereka mau menerapkannya.
Para nasabah juga bisa mendesak dana yang disimpan di perbankan nasional. Mereka tidak mau dana di rekening bank digunakan untuk membiayai program tidak ramah lingkungan. “Sudah saatnya perbankan menghentikan pembiayaan untuk energi fosil dam merusak lingkungan,” tegas Pius.