Kamis, Maret 28, 2024

Merevisi UU KPK, Membunuh KPK

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam LSM Anti Mafia Hukum melakukan aksi damai menolak revisi RUU KPK di depan gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10). Mereka menolak Revisi RUU nomor 30 tahun 2002 yang dianggap melemahkan tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/15
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam LSM Anti Mafia Hukum melakukan aksi damai menolak revisi RUU KPK di depan gedung KPK, Jakarta, Senin (12/10). Mereka menolak Revisi RUU nomor 30 tahun 2002 yang dianggap melemahkan tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/15

Munculnya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini merupakan upaya pelemahan terhadap KPK. Upaya Dewan Perwakilan Rakyat yang menginisiasi revisi undang-undang tersebut merupakan bentuk perlawanan mereka terhadap upaya KPK  memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini.

Demikian penilaian Khalisah Khalid, Kepala Kajian dan Penggalangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, di Jakarta. Dia menegaskan upaya DPR tersebut patut diduga titipan para koruptor atau pihak-pihak yang berpotensi akan menjadi tersangka KPK melalui parlemen. Hal ini semakin membahayakan institusi terhormat seperti DPR, sebab DPR hanya dijadikan arena bagi koruptor untuk melemahkan KPK yang mereka anggap sebagai musuh.

“Kami mengidentifikasi beberapa temuan penting dari revisi UU KPK. Substansi revisi UU KPK hanya sebagai upaya membunuh KPK dan mematikan upaya pemberantasan korupsi,” kata Khalisah ketika ditemui di Jakarta, Senin (12/10).

Dia lalu menjelaskan beberapa upaya DPR dalam mematikan KPK.  Pertama, revisi UU KPK yang menyatakan pembatasan usia KPK, yakni hanya 12 tahun sejak undang-undang tersebut resmi diamandemen. Hal ini akan menyebabkan tindak pidana korupsi bakal tumbuh subur. Sebab, 12 tahun kemudian lembaga anti korupsi itu tidak lagi ada.

Kedua, mengurangi kewenangan penindakan dan menghapus upaya penuntutan menunjukkan kewenangan KPK dibatasi, yaitu hanya sebatas melakukan penyelidikan dan penyidikan. Ini akan berakibat pada hukuman bagi koruptor yang mendapat sanksi ringan oleh pengadilan.

Ketiga, ruang gerak KPK semakin dipersempit. Itu terlihat dari kasus yang bisa ditangani KPK hanya kerugian berada di atas Rp 50 miliar. Lalu penyadapan dan penyitaan barang bukti oleh KPK yang harus melalui izin Ketua Pengadilan. “Jelas, ini dapat membuat KPK tak lagi bisa melakukan operasi tangkap tangan koruptor,” katanya. Padahal, sukses KPK menangkap koruptor lebih banyak melalui operasi penyadapan yang berujung pada tangkap tangan.

Dia menambahkan, dengan adanya revisi UU tersebut, DPR berupaya mendorong KPK ke depan lebih memprioritaskan aspek pencegahan, bukan lagi pemberantasan. Karena itu, KPK nantinya bekerja bukan lagi menjadi lembaga pemberantasan korupsi, tapi lembaga pencegahan korupsi.

“DPR menganggap upaya pemberantasan korupsi hanya sebagai perbuatan pencegahan. Itu agar sebisa mungkin KPK melupakan urusan menindak para koruptor.”

Sebelumnya, revisi UU KPK sudah dihapuskan oleh DPR dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2013. Namun, para anggota DPR baru periode 2015-2019 kembali menggunakan hak legislasinya dengan mengupayakan kembali merevisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ketua DPR Setya Novanto memastikan, revisi UU KPK dilakukan bukan untuk melemahkan KPK, tapi justru agar KPK lebih baik dan lebih kuat dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi.

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.