Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ke-5, mengatakan, gagasan revolusi mental Pancasila bisa berfokus pada tiga mentalitas utama, yakni budaya kemadirian, budaya gotong royong, dan budaya pelayanan. Ketiga mentalitas ini disebut Tricita Revolusi Mental.
Menurut Mega, pentingnya mentalitas budaya kemandirian berangkat dari asumsi bahwa secara kebiasaan, Indonesia tidak berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Hal itu terjadi karena kita tidak bisa mengenal jati diri bangsa, tidak menghargai dirinya, kurang percaya diri, lemah kepribadian, dan ujungnya tidak mampu mengaktualisasikan diri.
“Kita (Indonesia) saat ini tidak memiliki pijakan. Di mana jati dirimu?” kata Megawati dalam seminar nasional bertajuk “Mental Pancasila Sebagai Ekspresi Semangat Sumpah Pemuda” di Jakarta Convention Center, Selasa (27/10). “Padahal Pancasila sebagai basis sosial itu dinamis dan progresif.”
Dengan tidak memiliki mentalitas kemandirian, perilaku kita saat ini cenderung terperangkap dalam dua pilihan: melakukan apa yang bangsa lain lakukan yang menyebabkan mentalitas komformis dan melakukan apa yang diinginkan bangsa lain yang menyuburkan mentalitas pecundang dan totaliter.
Karena itu, Mega menambahkan, revolusi mental harus menumbuhkan mentalitas kemandirian agar rakyat Indonesia berani berpikir, bersikap, dan bertindak secara berdaulat agar tidak tidak terjadi intervensi dan terbebas dari paksaan bangsa asing. Artinya, kita dapat mengaktualisasikan potensi diri rakyat Indonesia.
Kemudian pentingnya mentalitas budaya gotong royong dalam kehidupan berbangsa. Contohnya, zaman dulu, orang masih gotong royong untuk membangun sebuah rumah. Kini budaya itu sudah mulai luntur atau hilang di kehidupan rakyat kita sendiri.
Padahal, dalam kemajemukan karakter rakyat Indonesia, gotong royong adalah nilai fundamental bangsa ini. Menurut pandangan Bung Karno, gotong royong adalah intisari Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem berperilaku bersama.
“Gotong royong adalah paham dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, dan satu pekerjaan,” ujarnya. Dalam realitas kehidupan bangsa, terutama politik, masih berjalan praktik gotong royong. Namun, dalam konotasi negatif, tolong menolong dalam kejahatan dan pengrusakan. Seharusnya, gotong royong harus ditempatkan dalam konotasi positif: tolong menolong dalam kebaikan dan pembangunan.
Megawati juga menjelaskan pentingnya mentalitas budaya pelayanan berangkat dari asumsi bahwa pemupukan kemandirian dan penguatan welas asih kegotongroyongan itu harus bermuara pada pelayanan. Indonesia sendiri dirancang oleh pendiri bangsa berlandaskan empat pelayanan; melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mecerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia.