Rabu, Oktober 9, 2024

Masyarakat Diminta Tak Pilih Calon Kepala Daerah Bermasalah

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (kanan) melantik Bupati dan Wakil Bupati se-Sulawesi Selatan saat pelantikan di halaman Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (17/2). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Setelah Pemilihan Presiden 2014 lalu, setahun setelahnya Indonesia dihadapkan pada pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah serentak gelombang pertama. Dalam perhelatan itu, ada beberapa kepala daerah terpilih yang tersandung persoalan hukum namun tetap dilantik menjadi kepala daerah. Karena itu, masyarakat seharusnya bisa bersikap kritis dan antipati terhadap calon kepala daerah yang terindikasi korupsi atau tidak berlaku transparan.

“Sebab, pejabat atau politisi yang tidak transparan ini rentan menyuburkan praktik korupsi,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, La Ode Muhammad Syarif, ketika ditemui di Jakarta, Selasa (15/3).

Dia mengaku heran ihwal demokrasi yang berlangsung di Indonesia. Pasalnya, hanya di Indonesia bekas seorang kepala daerah yang jelas melakukan tindak pidana korupsi tapi masih bisa mencalonkan diri atau bahkan menjabat kembali menjadi kepala daerah. Dalam hal ini, masyarakat sebenarnya turut andil jika kemudian kembali terjadi praktik korupsi yang dilakukan oleh orang yang sama.

“Kalau di luar negeri hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi. Pejabat yang memiliki rekam jejak kriminal, apalagi menyangkut korupsi, tidak akan lagi dipercaya oleh publik. Dari kejadian ini, kita bisa lihat bahwa sistem yang kita miliki saat ini belum berjalan baik,” tutur La Ode.

Meski demikian, pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Misalnya, memberi hukuman atau sanksi kepada pejabat negara yang tidak transparan, hanya karena seorang kepala daerah atau pejabat tidak memberikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LKHPN) kepada KPK.

“Dalam undang-undang tidak ada wewenang bagi KPK memberikan hukuman kepada mereka yang tidak melapor. KPK juga tidak berwenang mempublikasikan daftar hitam pejabat negara kepada masyarakat,” ujarnya.

“Yang bisa dilakukan KPK hanyalah mengimbau kepada masyarakat. Dan hanya bisa mengeluarkan informasi tentang pejabat negara yang telah melaporkan harta kekayaannya.”

Fungsi laporan harta kekayaan yang telah dipublikasikan ini, kata dia, seharusnya bisa menjadi rujukan masyarakat untuk mengetahui informasi lebih lanjut. Dengan begitu, sebelum mengambil keputusan untuk memilih seorang pejabat negara, ada pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu ihwal dampaknya kemudian.

Seperti diketahui, usai Pilkada Serentak, 9 Desember 2015, ada empat kepala daerah terpilih yang tetap akan dilantik meski sedang berurusan dengan hukum. Keempat kepala daerah itu adalah Wali Kota terpilih Gunung Sitoli, Sumatra Utara, Lakhomizaro Zebua. Ia sebelumnya menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan RSUD Nias Selatan tahun 2013 senilai Rp 5,12 miliar.

Lalu Bupati terpilih Sabu Raijua, NTT, Marthen Dira Tome, tersangka KPK dalam kasus korupsi di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi NTT tahun 2007 sebesar Rp 77 miliar.

Berikutnya Bupati terpilih Ngada, NTT, Marianus Sae, yang menjadi tersangka kasus penutupan Bandara Turerelo Soa. Terakhir, Bupati terpilih Maros, Sulawesi Selatan, Hatta Rahman berstatus tersangka kasus korupsi pada 2011.

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.