Kamis, April 25, 2024

Maraknya Penggusuran, Ahok Dinilai Arogan

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kedua kanan) memaparkan gagasan didampingi Wakil Gubernur Banten Rano Karno (kiri), Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mizwar (kedua kiri) dan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar (kanan) ketika diskusi Pembentukan UU Megapolitan yang diinisiasi oleh DPD RI di gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2). Diskusi tersebut mengenai perubahan iklim, pembangunan infrastruktur dan permukiman, serta pemeliharaan lingkungan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/Koz/pd/14.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memaparkan gagasan didampingi Wakil Gubernur Banten Rano Karno, Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mizwar, dan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar ketika diskusi Pembentukan UU Megapolitan di gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/Koz/pd/14.

Maraknya penggusuran tempat pemukiman warga oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama kurang dari setahun ini menunjukkan kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memang arogan. Sebab, tidak hanya kehilangan tempat tinggal, banyak warga DKI Jakarta juga kehilangan unit usahanya akibat penggusuran.

Yunita, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, mengungkapkan penggusuran oleh Pemprov DKI Jakarta kerap dilakukan secara sepihak. Masyarakat diminta pindah secara paksa dengan dalih untuk kepentingan umum. Tak hanya itu, dalam upaya penggusuran bahkan kekerasan sering dilakukan oleh aparat berwenang yang melakukan eksekusi di lapangan.

“Akibat adanya penggusuran paksa tersebut, sejak Januari hingga Agustus 2015, ada sebanyak 3.334 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan 433 unit usaha milik warga hilang. Kerugian mereka menjadi dua kali lipat lantaran sumber mencari nafkah mereka juga hilang,” ungkap Yunita ketika ditemui di Komnas HAM Jakarta, Kamis (12/11).

Menurut dia, penggusuran merupakan salah satu alternatif terakhir dalam menyelesaikan persoalan perkotaan. Pemerintah daerah seharusnya memperhatikan dampak sosial dan ekonomi kehidupan korban penggusuran ke depan.

“Relokasi tempat yang tak jauh dari tempat mereka mencari nafkah dan kehidupan sosial merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan. Jadi, tidak bisa seenaknya memindahkan warga, kemudian menghancurkan ruang sosial dan ekonomi mereka. Ini kerugian materiil dan nonmateriil yang mesti diperhitungkan pemerintah daerah,” tutur Yunita.

Lebih lanjut, dia mengatakan, jika memang penggusuran opsi yang dipilih, seharusnya Pemprov DKI melibatkan peran serta masyarakat dalam penanganannya dan langkah-langkah solutif yang harus dilakukan, sehingga masyarakat tidak kehilangan tempat tinggalnya.

“Apalagi Indonesia saat ini sudah meratifikasi dua perjanjian internasional terkait masalah tempat pemukiman seseorang dan menjamin hak warga memperoleh perumahan yang layak. Karenanya, pelibatan publik dengan membuka ruang dialog seharusnya dikedepankan,” ujar Yunita.

Yunita juga mempertanyakan konsistensi Ahok. Dalam kasus penggusuran, Ahok seolah bersikap lebih manusiawi dibanding gubernur-gubernur sebelumnya dengan memberikan sejumlah tempat tinggal yang lebih layak, yakni rumah susun sederhana kepada warga yang terkena gusur.

“Padahal, kenyataannya seluruh warga yang terkena gusur itu tak bisa mendapat rumah susun dari Pemprov DKI. Dari seluruh warga yang tergusur, paling hanya setengahnya saja yang mendapat kompensasi rumah susun.”

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.