Indonesia Corruption Watch menilai penanganan perkara korupsi kehutanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memberi kontribusi mengembalikan kerugian keuangan negara. Salah satunya dari Marthias, terpidana korupsi penerima izin pemanfaatan kayu (IPK) dan penikmat kebijakan yang diterbitkan Gubernur Kalimantan Timur, Surwana AF, sebesar Rp 346 miliar. Jumlah ini yang terbesar diperoleh KPK hingga saat ini.
Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW, mengatakan, sejumlah langkah yang dilakukan KPK perlu diapresiasi. Namun, KPK harus menyelesaikan persoalan di sektor hutan yang belum tuntas hingga saat ini. ICW dan Koalisi Anti Mafia Hutan menemukan bahwa KPK belum sepenuhnya menyelesaikan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam perkara korupsi kehutanan, terutama korporasi.
“Kalau gubernur, bupati, dan anggota DPR sudah ada yang ditindak KPK. Tapi sampai saat ini korporasi di sektor kehutanan belum tersentuh oleh KPK. Begitu pula di Kepolisian dan Kejaksaan belum ada tindak lanjut, kecuali kasus Banjarmasin,” kata Emerson di Jakarta kemarin.
Emerson menyebut contoh kasus pengadaaan sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan dan alih fungsi lahan. Dalam kasus tersebut, Anggoro Widjojo sebagai tersangka tapi hingga kini tidak ada tindak lanjutnya. Bahkan dalam persidangan nama M.S Kaban disebut tapi tidak ada lanjutannya. “Nah, ini menjadi tantangan ke depan buat KPK. Dulu Bambang Widjojanto menyatakan bahwa 2014-2015 akan ada korporasi yang dijerat.Tapi sebelum masuk penyidikan, Bambang Widjajanto sudah ditangkap kepolisian atau dikriminalisasi,” katanya.
Selain itu, harus ada aspek pencegahan. Emerson menjelaskan ada kerentanan korupsi akibat ketidakpastian hak dan ketidakpastian ruang investasi, lemahnya regulasi, serta tidak adanya pengelola kawasan hutan di lapangan. Hasil kajian menemukan 17 kelemahan sistemik dalam aspek regulasi (9 temuan), aspek kelembagaan (3 temuan), aspek tata laksana (4 temuan), dan aspek manajemen SDM (1 temuan).
“Sepanjang pemerintah Jokowi tidak memberikan perhatian soal ini, ya percuma saja. Toh, kalau hasil penelitian KPK dijalankan, tidak ada rapor merah untuk pembantunya. Makanya harus dibangun kesepahaman politik yang arahnya adalah penyelamatan sumber daya alam.”
ICW juga menyoroti kerugian negara dengan nilai fantastis di sektor kehutanan. Pada 2011, akibat pelepasan kawasan hutan di 7 provinsi, potensi kerugiannya mencapai Rp 273 triliun. Karena itu, pihaknya mendorong KPK untuk membuat terobosan hukum agar kerugian negara tidak hanya terkait dana APBN dan APBD, tapi juga kerugian negara dari perspektif ekologis.
“Kalau hanya kerugian finansial ya masih kecil. Jadi, kita dorong KPK untuk menghitung kerugian dari sisi ekologis. Kerugiannya bisa mencapai Rp 678 triliun. Sampai 7 turunan belum mampu dibayar oleh pengusaha,” tegasnya. Karena itu, kita tak butuh merevisi UU KPK, melainkan harus merevisi UU Tindak Pidana Korupsi untuk optimalisasi memperluas aspek kerugian negara tidak hanya finansial, tapi juga biaya sosial dan ekologis.