Salah satu program pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tertuang dalam Nawacita adalah kedaulatan pangan. Namun setahun lebih program yang dijalankan oleh pemerintah masih belum membuahkan hasil yang signifikan.
Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), mengatakan upaya khusus untuk mencapai swasembada pangan masih jauh dari cukup. Impor beras terus instensif dilakukan oleh pemerintah.
Selama satu dekade terakhir ketergantungan Indonesia pada pangan impor nyaris tak berubah: 100% untuk gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 18% daging sapi, dan 95% bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju.
Rencana pembangunan secara massif untuk menopang sektor pertanian Jokowi-JK itu selama ini juga melupakan esensi inti dari target swasembada pangan: kesejahteraan petani. Padahal petani adalah komponen penting dalam pencapaian kedaulatan pangan sekaligus sokoguru bangsa yang menjaga kekokohan nusantara. Tak ada artinya produksi meningkat jika petani masih menjadi bagian termiskin dari masyarakat.
Badan Pusat Statistik mencatat, dari 28,28 juta penduduk miskin, 63% tinggal di desa yang sebagian besar petani. Sebagai produsen pangan, petani jadi kelompok paling terancam rawan pangan. Menurut BPS, pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rerata Rp 12,4 juta/tahun atau Rp 1 juta/bulan. Pendapatan ini hanya menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti ngojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar.
Masih menurut BPS, nilai tukar petani mengalami tren penurunan pada beberapa bulan terakhir. Nilai tukar itu menggambarkan tingkat kesejahteraan petani. Jika nilai tukar petani menurun, tingkat kesejahteraan petani juga menurun. Demikian pula sebaliknya. Hal tersebut sangat ironis mengingat petani sebagai penompang produksi pangan, malah ternacam rawan pangan dan terus terjebak dalam garis kemiskinan.
Hermanu Triwidodo, inisiator Gerakan Petani Nusantara (GPN) yang juga pengajar di Departemen Proteksi Tanaman ITB, mengatakan, untuk mewujudkan kedaulatan pangan tidak hanya meningkatkan produksi saja, tapi juga menjadikan petani berdaulat dan sejahtera.
“Pemerintah dalam hal ini tidak memiliki konsep besar dan grand scenario dalam pengentasan kemiskinan kaum petani. Beberapa instansi pemerintah berjalan sendiri-sendiri dan tidak punya arah yang menyatu, sehingga permasalahan kemiskinan petani tak terselesaikan,” kata Hermanu.
Masroni, petani dari Indramayu, mengatakan kedaulatan petani harus dimulai dari petani sendiri. Jika dimulai dari petani, kebijakan yang dibuat seharusnya menjawab kebutuhan petani. “Bukan hanya kebutuhan pemeritah yang ingin dianggap berhasil meningkatkan produksi. Petani berdaulat bila memiliki tanah, bukan penggarap, apalagi buruh,” ujar Masroni.
Bantuan petani seharusnya juga memperhatikan kebutuhan dan potensi wilayah tempat masyarakat petani berlokasi. Jika pemerintah memberikan bentuk bantuan yang sama ke semua wilayah, kata Masroni, justru tidak efisien dan menyebabkan masalah.
Masroni menyontohkan bantuan traktor yang diberikan oleh pemerintah di desanya yang justru menjadi pemicu masalah di antara para petani Indramayu. Akhirnya, petani menjual traktor dengan harga yang murah karena tidak bisa digunakan. Bantuan benih, misalnya, juga tak efisien. “Banyak petani yang tidak menanam karena memang tidak dibutuhkan.”
Karena itu, menurut Hermanu, untuk mengatasi permasalahan kemiskinan petani, petani dan pemerintah harus bersinergi dan fokus pada perannya masing-masing. “Pemerintah tidak harus mendikte petani dan menjadikan mereka buruh. Justeru pemerintah harus memberdayakan petani, memuliakan petani, dan mensejahterakannya.”
Selain itu, petani juga diharapkan mampu terus berkarya dan berinovasi sehingga harga diri dan kemuliaan mereka terjaga. Ketika petani sejahtera, semua hal lainnya, termasuk peningkatan produksi pangan, akan ikut dengan sendirinya.