Analis ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Tarli Nugroho, mengatakan, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014 tentang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sarat akan kepentingan investor asing. Itu terbukti dengan dibolehkannya investor asing mengajukan perpanjangan izin usaha 10 tahun sebelum habis masa kontrak.
“Pemerintah mengubah aturan proses perpanjangan izin lebih cepat dari sebelumnya. Ini bukti bahwa pemerintah sedang berusaha mementingkan pemodal dan mengamankan investor asing dibandingkan kepentingan masyarakat,” kata Tarli saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (11/9).
Dia menambahkan, kebijakan ini tidak benar karena terlalu dipaksakan. Sesuai aturan sebelumnya para investor, baik tambang atau minyak dan gas, hanya bisa mengajukan perpanjangan 2 tahun sebelum habis kontrak. Tak hanya itu, perubahan ini dilakukan secara sadar oleh pemerintahan Joko Widodo.
“Saya berpandangan seperti itu, pemerintah secara sadar melakukan perubahan PP. Contohnya Freeport, masa kontraknya habis pada tahun 2021. Artinya, sesuai aturan mereka bisa negosiasi kontrak pada 2019. Itu tahun politik, waktu pergantian rezim. Karena itu, mereka memaksa negosiasi pada pemerintah saat ini,” ungkap Tarli.
Menurut dia, poin dari revisi PP tersebut bagi pemerintah adalah regulasi pertambangan hanyalah soal kepastian usaha bagi para investor asing. Pemerintah sama sekali mengabaikan prinsip pokok dari konstitusi kita, yakni Pasal 33 UUD 1945.
“Seharusnya, negara sebagai representasi wakilnya berkewajiban menguasai pertambangan dan migas sendiri. Pengolahan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalau ada perpanjangan izin kontrak, mana manfaatnya untuk kita,” tegasnya.
Lebih lanjut Tarli menegaskan, sudah puluhan tahun kekayaan alam kita dieksploitasi. Tapi mana akumulasi modal, teknologi dan sumber daya yang kita peroleh. Mengapa kita masih saja meributkan ketidakmampuan biaya dan sumber daya manusia ketika berbagai kontrak pertambangan atau migas akan selesai masa berlakunya. “Kita mampu semuanya, tapi tidak ada keputusan politik pemerintah yang berpihak pada rakyat,” tegasnya.
Dia menilai, sesudah reformasi seolah ada pembiaran regulasi, baik undang-undang maupun peraturan pelaksananya, yang melenceng dari konstitusi. Padahal, beberapa undang-undang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tapi pemerintah tetap mengabaikannya demi kepentingan asing.
Misalnya pembubaran BP Migas oleh MK karena tidak sesuai amanat konstitusi. Meski dibubarkan, pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Begitu pula dengan Undang-Undang Kelistrikan. Walaupun dibatalkan, spirit UU Kelistrikan baru tetap sama dan ini tidak segaris dengan konstitusi.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan satu diktum yang termaktub dalam PP Nomor 77 tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Minerba akan diubah.
Menteri Sudirman mengungkapkan tidak logis jika pengajuan perpanjangan izin baru bisa dilakukan dua tahun sebelum habis masa kontrak. Apalagi jika perusahaan ingin menanamkan investasi dalam jumlah besar. Karena itu, PP tersebut akan direvisi, dari awalnya 2 tahun, kini bisa 10 tahun sebelum habis kontrak. Revisi ini masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid I Presiden Joko Widodo.[*]