Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai kebebasan pers di Indonesia pada tahun 2015 sangat memprihatinkan. Sebab, ada 47 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh kepolisian, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, kader partai politik, dan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin mengatakan, kondisi kebebasan pers Indonesia masih sangat memprihatinkan dan melanjutkan catatan buram sejak tahun 2014. Hal itu terjadi karena kasus kekerasan ini berulang akibat tidak adanya sanksi tegas bagi pelaku.
“DKI Jakarta menduduki peringkat pertama dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, kemudian disusul Papua,” kata Nawawi dalam konferensi pers “Potret Buram Perlindungan Terhadap Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi” di Jakarta, Selasa (22/12).
Dia mengatakan, pihaknya tidak heran jika Jakarta menjadi daerah yang pertama melanggar kebebasan pers. Pasalnya, sebagai simbol pusat kekuasaan, Jakarta menjadi contoh bagi daerah lain untuk melakukan pelanggaran itu. Dan ini sangat ironis.
“Kalau di Jakarta saja bisa terjadi kerkerasan. Apalagi di daerah lain yang jauh dan minim pengawasan,” ujar Nawawi. Selanjutnya, Papua yang mulai dibuka aksesnya terhadap kebebasan pers walaupun tersendat dan prosedural, setidaknya pelanggaran terhadap kebebasan pers mulai diberitakan, baik di media lokal maupun nasional.
Nawawi menambahkan, kasus kekerasan terakhir di Jakarta terkait isu Papua adalah penganiayaan dan penghapusan hasil liputan terhadap jurnalis Aljazeera, ABC Australia, dan Blomberg pada saat meliput aksi mahasiswa Papua. Tak hanya itu, Sumatera tidak lepas dari perhatian LBH Pers. Yakni, kasus penganiayaan terhadap Jurnalis Zuhry oleh kepolisian di Pekanbaru saat peliputan demo Himpunan Mahasiswa Islam.
“Polisi bukannya malu karena tindakan penganiayaan itu, malah melaporkan Zuhry dengan pasal pencemaran nama baik dan Undang-Undang ITE,” kata Nawawi. Karena itu, LBH Pers selaku kuasa hukum Zuhry melaporkan tindakan kepolisian tersebut dengan Pasal 18 Undang-Undang Pers terkait tindakan penghalang-halangan peliputan.
Sementara itu, Kepala Divisi Riset dan jaringan LBH Pers Asep Komarudin mengatakan, kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik berupa pembunuhan, penganiayaan, pelecehan dan penggerudukan. Sedangkan kekerasan nonfisik berupa teror, ancaman, pelarangan liputan, pelecehan verbal, tuntutan hukum, dan perampasan alat liputan.
“Tren yang berkembang saat ini bukan hanya kriminalisasi terhadap jurnalis dan media. Tapi sudah mulai ke narasumber juga,” kata Asep. Seharusnya kasus terkait narasumber itu bagian dari sengketa pers sehingga bukan pencemaran nama baik. Contohnya, kasus aktivis ICW Emerson Yuntho atas pernyataannya di sejumlah media massa.
Karena itu, LBH Pers mendesak Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan jajarannya terkait pentingnya kebebasan pers dan perlindungan jurnalis bagi negara demokrasi, khususnya di Indonesia. Kemudian mereka juga memita anggota DPR RI untuk lebih teliti dan hati-hati dalam membahas peraturan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan berkespresi. Karena kebebasan pers yang bertanggung jawab adalah syarat mutlak untuk negara demokrasi.