Kemunculan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan aksi-aksi terorisme membuat banyak negara di dunia meningkatkan kewaspadaan dan membentuk kerjasama global untuk menanganinya. Prograpanda ISIS untuk membentuk negara Islam, misalnya, telah berhasil menarik warga di dunia untuk bergabung, tak terkecuali di Indonesia.
Beberapa pihak menilai tragedi pengeboman dan teror di Jalan Thamrin, Jakarta, adalah salah satu indikasi kuat keberadaan ISIS di Indonesia. Aksi teror ISIS tidak bisa lagi dipandang sekadar ancaman biasa. Pasalnya, kekuatan ISIS di Asia Tenggara yang paling besar berada di Indonesia.
Berbagai laporan menyebutkan, banyak WNI yang berangkat ke negara-negara Timur Tengah untuk bergabung dengan ISIS. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dinilai potensial bagi ISIS untuk mendirikan “negara khilafah”.
Menurut Mohammad Rosyidin, peneliti politik internasional dari Universitas Diponegoro, Semarang, pemerintah perlu mengkaji langkah kebijakan luar negeri untuk mencegah ancama keberadaan ISIS. Pemerintah perlu melihat dari segi persoalan strategis kebijakan luar negeri, bukan hanya dari segi domestik saja
Karena itu, Rosyidin menegaskan pemerintah harus meningkatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara Timur Tengah. Sumber daya diplomatik juga harus digunakan semaksimal mungkin.
“Hubungan bilateral dengan negara-negara Timur Tengah yang menjadi basis ISIS selama ini kurang optmimal. Kebijakan luar negeri Indonesia terlalu fokus ke Asia Tenggara dan isu-isu ketenagakerjaan seperti TKI,” kata Rosyidin.
Hubungan bilateral, khususnya dengan negara-negara Timur Tengah yang menjadi epicentrum ISIS, harus lebih intensif. “Itu sangat penting dan itu bisa jadi batu locatan pemerintah untuk mencegah ancaman ISIS bagi Indonesia.”
Ihwal kebijakan pemerintah yang tidak bergabung dengan aliansi global melawan ISIS yang dipimpin oleh Arab Saudi, Rosyidin menilai itu sudah tepat. Aliansi tersebut dinilai lebih cenderung ke arah aliansi militer. Jika bergabung dengan aliansi global, maka Indonesia akan terseret ke dalam kepentingan-kepentingan mereka, dan itu bisa kontraproduktif.
Selain itu, dia menambahkan, mengkampanyekan Islam moderat dan melawan terorisme di kancah global merupakan langkah lain yang harus digalakkan pemerintah. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar didunia, Indonesia dikenal dengan Islam yang moderat. Islam moderat di Indonesia bisa hidup bersanding dengan masyarakat yang berbeda keyakinan.
“Untuk menghadapi ISIS, yang diperlukan tidak saja hard power tetapi juga soft power. Islam moderat seperti Islam Nusantara itu bisa menjadi elemen soft power politik luar negeri,” kata Rosyidin.