International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) menilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 belum menunjukkan strategi dalam mengurangi ketimpangan di Indonesia. Hal itu terlihat dari belanja sosial yang masih rendah.
“Belanja sosial pemerintah pada 2016 sekitar 2,4%. Anggaran tersebut lebih kecil dibandingkan dengan belanja pegawai,” kata Manajer Program Infid Siti Khoirun Nikmah di Jakarta, Rabu (20/1).
Padahal, belanja sosial menjadi salah satu faktor penurunan ketimpangan. Menurut Nikmah, pemerintah perlu melakukan percepatan aksi penurunan ketimpangan yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJNM) 2015-2019.
“Untuk mendukung penurunan ketimpangan, pemerintah perlu mengingkatkan akses permodalan pelaku usaha kecil dan menengah,” ujar Nikmah. Kemudian, pemerintah juga harus memperbesar alokasi anggaran untuk belanja sosial dan jaminan sosial serta memperluas dan memperbaharui program-program pemagangan kerja, pelatihan kerja dan informasi kerja.
Selain itu, jika pemerintah fokus dan membenahi lapangan kerja seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), maka lebih dari 30% masyarakat akan terserap di sektor tersebut. “Jadi, sektor tenaga kerja dengan penyerapan tinggi harus menjadi prioritas pemerintah,” katanya. Faktor upah juga punya pengaruh menurunkan ketimpangan.
Infid masih menemukan ketimpangan yang besar dalam upah karyawan di posisi terendah dengan komisaris. Misalnya, ada perusahaan yang komisarisnya mendapat penghasilan Rp 100 miliar per tahun. Sedangkan karyawannya sekitar Rp 37 juta per tahunnya jika asumsi UMP DKI Jakarta. Karena itu, kata Nikmah, perlu aturan jarak UMP terendah dan UMP tertinggi.
“Selama ini tidak ada aturan pembatasan antara UMP terendah dan tertinggi. Bahkan komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tidak memilikin aturan tersebut,” katanya. “Jadi, belanja sosial, lapangan kerja, dan upah menjadi faktor penurunan ketimpangan ke depan.”
Sementara itu, Direktur Eksekutif Infid Sugeng Bahagijo mengatakan, untuk menyerap tenaga kerja 1 juta orang saja, Balai Latihan Kerja (BLK) harus bekerjasama dengan pihak lain. Apalagi 2 juta orang per tahunnya. Menurutnya, BLK di Indonesia tidak berjalan karena kurangnya anggaran dan sumber daya manusia yang rendah. Hal ini berbeda dengan di negara maju seperti Amerika Serikat. Mereka memberi perhatian serius untuk program seperti ini dan anggarannya lebih besar.
“Kalau BLK berjalan baik, maka BLK dan Dinas Ketenagakerjaan akan lebih besar dari sekarang. Diduduki oleh orang pintar dan teknologi tinggi,” kata Sugeng.