Mantan Direktur Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Simon F Sembiring mengatakan, pemerintah Indonesia tak perlu takut jika PT Freeport Indonesia tidak diperpanjang izin operasinya di Papua, apalagi ditakut-takuti dengan ancaman akan di bawa ke sidang arbitrase internasional.
“Silakan saja kasus Freeport dibawa ke arbitase internasional. Saya pernah bawa kasus PT Newmont dan kita menang. Ini ada oknum yang dikasih amplop, dibilang nanti pemerintah akan kalah kalau kasus ini di bawa ke arbitrase. Jadinya pemerintah takut lagi. Kita selalu begitu,” kata Simon di Jakarta, Kamis (21/1).
Dia menambahkan, dalam sidang arbitrase internasional, regulasi atau UU yang dipakai bukan dari Amerika Serikat. Akan tetapi tetap menggunakan UU Indonesia. Dalam UU No 11 Tahun 1967, tidak ada pasal yang menyebutkan pemerintah tidak boleh mencabut UU ini. Justru dalam pasal 23 ayat 2 kerja sama antarpihak disebutkan bahwa perusahaan akan tunduk dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu.
Karena itu, kata Simon, Freeport wajib tunduk pada UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang pada dasarnya mengharuskan setiap kerja sama investasi mengedepankan kepentingan nasional. Artinya, negara lebih berhak mendapat penguasaan lebih banyak hasil kekayaan alam ketimbang perusahaan itu sendiri. Tapi, kenyataan di lapangan penguasaan saham usaha tambang di Papua itu sepenuhnya didominasi oleh Freeport.
Padahal, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 justru mengamanatkan perusahaan asal Amerika Serikat itu melepas 51 persen kepemilikannya. Namun, seminggu sebelum melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014 mengenai divestasi saham perusahan pertambangan asing.
Ketentuan tersebut memberi kewajiban kepada PT Freeport Indonesia yang sudah melakukan kegiatan penambangan bawah tanah untuk mendivestasikan sahamnya hanya sebesar 30 persen. Tak ada kaitan yang signifikan antara metode penambangan bawah tanah dengan jumlah divestasi. Karena itu, PP No 77/2014 pasal 97, ayat (1b), (1c) dan ayat (1d) harus diamandemen atau dihapus. “UU Minerba tidak dilaksanakan, tapi PP-nya dilaksanakan, ini kan aneh,” tegasnya.
Simon menambahkan, pemerintah Indonesia saat ini memiliki posisi yang kuat dalam persoalan Freeport. Jangan dikira, kalau selesai operasi Freeport, mereka bisa pergi begitu saja. “Tidak bisa. Mereka punya tanggung jawab selama 10 tahun. Tanggung jawab itu seperti merehabilitasi lingkungan dan menawarkan aset mereka kepada pemerintah.”
Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad mengatakan, hari ini Freeport tidak punya basis hukum apa pun untuk menggugat pemerintah ke sidang arbitrase internasional. Pasalnya, dalam perjanjian kontrak karya Freeport Indonesia disebutkan bahwa perusahaan harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu.
“Itu jelas sekali, Freeport Indonesia tidak punya landasan hukum untuk menggugat pemerintah Indonesia di tingkat internasional,” kata Chalid.
Selain itu, isu lingkungan bisa menjadi senjata kita untuk menghancurkan saham Freeport induk. Pasalnya, hingga saat ini limbah tailing hasil produksi Freeport Indonesia dibuang secara ilegal karena tidak memiliki dokumen pembuangan tersebut.
“Tidak ada satu kementerian pun yang memberi izin pembuangan limbah tailing ke danau hingga mencapai ke muara laut,” kata Chalid. “Ingat kasus British Petroleum (BP), sahamnya langsung menurun ketika terjadi pencemaran lingkungan di Teluk Meksiko. Masalah ini sangat sensitif di AS.”