Upaya Kementerian Pertahanan/TNI dalam mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer tampaknya sudah mulai menunjukkan hasil. Hal ini terlihat dari perubahan indeks antikorupsi militer (IAKM) yang dikeluarkan Transparency International United Kingdom untuk kawasan Asia Pasifik.
Peneliti Transparency International United Kingdom Tehmina Abbas mengatakan, ada perbaikan indeks korupsi di tubuh militer Indonesia, dari katagori E (sangat tinggi) di tahun 2013 menjadi katagori D (tinggi) pada 2015. Namun, pemerintah harus berperan untuk mengurangi risiko korupsi di bidang militer.
“Jika tidak ada niat politik dari pemerintah, maka sulit untuk meningkatkan posisi Indonesia ke depan,” kata Tehmina di Jakarta, Kamis (21/1). Dia juga menambahkan bahwa risiko korupsi di tubuh militer dibagi dalam lima area: risiko politik, keuangan, personalia, operasi, dan pengadaan alutsista.
Dengan adanya indeks tersebut, kata dia, bisa diketahui tinggi atau rendahnya risiko korupsi suatu negara yang bisa dibandingkan dengan negara lain.
Hal senada diungkapakan Dedi Haryadi, deputi Transparency International Indonesia. Dia mengatakan, korupsi di tubuh militer bisa membahayakan keamanan dan kedaulatan negara, keamanan warga, menghamburkan sumberdaya, dan juga membahayakan keselamatan tentara. Indeks antikorupsi militer Indonesia memang bergeser membaik. Capaian ini menimbulkan perubahan status risiko korupsi militer di kawasan Asia Pasifik maupun G20.
Di kawasan Asia Pasifik, lanjut dia, risiko korupsi Indonesia sekelas dengan Bangladesh, Malaysia, dan Filipina. Cina, Pakistan, Sri Lanka, dan Thailand masuk katagori E (sangat tinggi). Kamboja dan Myanmar masuk katagori F (kritis). Sedangkan Selandia Baru masuk katagori A (sangat rendah). Australia, Jepang, Singapura, dan Taiwan masuk katagori B (rendah).
“Pergesaran IAKM Indonesia sudah cukup baik, tapi belum cukup. Kita perlu mendorong supaya IAKM Indonesia bisa menjadi B atau C dalam dua tahun ke depan. Dan dalam jangka panjang harus masuk katagori A,” kata Dedi.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menambahkan, upaya untuk mengendalikan risiko korupsi bisa dilakukan dengan pencegahan dan penindakan. “Upaya pencegahan dilakukan dengan cara meningkatkan komitmen implementasi zona integritas dan zona bebas korupsi di tubuh militer,” ujar Dadang.
Termasuk, lanjut, dia, meningkatkan transparansi anggaran militer dan pengadaan alutsista. Pada Agustus 2014 TNI sudah mendeklarasikan akan mengembangkan zona integritas dan zona bebas anti korupsi. Di samping itu, upaya penindakan dengan meningkatkan efektivitas peradilan militer.
Agus Sunaryanto dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, TNI harus mendorong perbaikan dan mendorong percepatan zona integritas dalam tubuh TNI dari sisi keterbukaan. Hal itu penting untuk memudahkan akses bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaudit dan memberikan keleluasaan menelusuri jika terindikasi ada penyimpangan. “Perlu juga diperketat regulasi pengadaan yang digunakan dan perlindungan pelapor,” ujar Agus.
Sementara itu, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, perlunya merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer agar prajurit TNI tunduk pada rezim pengadilan sipil. Nanti tentara yang melakukan tindak pidana korupsi diadili di pengadilan tindak pidana korupsi.
“Politisi di Senayan dan pemerintah harus mengambil langkah ini, jika serius ingin mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer,” kata Al Araf. “Kalau UU ini direvisi, nanti KPK cukup leluasa mengusut kasus korupsi yang melibatkan prajurit TNI.”