Senin, Oktober 14, 2024

Imparsial: Pengawasan Parlemen di Sektor Pertahanan Buruk

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Prajurit TNI menggunakan Tank Leopard (depan) saat peringatan ke-68 Hari Jadi TNI di Skuadron 2 Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Sabtu (5/10). Tank Leopard merupakan perlengkapan persenjataan TNI terbaru yang diperkenalkan pertama kali pada Peringatan Hari Jadi TNI kali ini. ANTARA/Ujang Zaelani
Prajurit TNI menggunakan Tank Leopard (depan) saat peringatan ke-68 Hari Jadi TNI di Skuadron 2 Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Sabtu (5/10). ANTARA/Ujang Zaelani

The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) menyatakan anggaran pertahanan Indonesia cukup besar sekitar Rp 95 triliun pada tahun 2016. Anggaran tersebut berbeda lagi dengan anggaran Rencana dan Strategi (Renstra) I alutsista yang multiyears sekitar Rp 150 triliun pada 2009-2014 dan Rp 150 triliun pada Renstra II 2015-2019.

“Anggaran besar tapi pengawasan parlemen di sektor pertahanan lemah, terutama Komisi I tidak bekerja secara maksimal untuk mengawasi dana tersebut. Komisi I tidak menjalankan fungsinya,” kata Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf di Jakarta, Kamis (22/1).

Dia menambahkan, beberapa persoalan skandal seperti pesawat Sukhoi, main battle tank (MBT) Leopard dan rudal yang dibeli dari Brasil tidak pernah diawasi oleh parlemen. Apalagi pembelian MBT Leopard bekas ini tidak urgen. Akan lebih baik jika pemerintah menambah kekuatan kavaleri TNI dengan jenis medium dan light tank. Dan ini sejalan dengan keinginan industri pertahanan dalam negeri yang akan mengembangkan pembuatan tank jenis medium dan ringan bekerja sama dengan beberapa negara lain.

“Pertanyaannya ada apa? Jangan-jangan fungsi pengawasan dijadikan alat bargaining ke Kementerian Pertahanan. Saya khawatir partai politik memanfaatkan ini untuk bagi-bagi ‘kue’. Komisi I dan Kementerian Pertahanan yang tidak tersentuh ini bisa menjadikan sektor militer sebagai lahan basah,” kata Al Araf. “Praktik pengawasan parlemen di sektor pertahanan buruk.”

Hal ini tentu berakibat pada transparansi dan akuntabilitas militer yang bermasalah. Selain itu, isu Undang-Undang Kerahasian Negara menjadi permasalahan ketika pengadaan alutsista menjadi bagian dari UU tersebut. Menurutnya, pengadaan alutsista yang bersumber dari dana APBN tetap terbuka kepada publik. Akan tetapi strategi dan taktik operasi yang menjadi rahasia militer.

“Terkait dengan kebijakan, penganggaran dan pengadaan alutsista sudah sepantasnya harus terbuka. Jika tidak terbuka akan berakibat pada transparansi dan akuntabilitas yang bermasalah,” ujarnya. Al Araf juga menilai, penegakan hukum oleh KPK terhadap kasus korupsi di militer masih sedikit. Tercatat hanya ada satu kasus di 2013 lalu yang menyeret Fuad Amin. Di sana hasil penelusuran ternyata ada petinggi TNI yang diduga ikut bermain.

Dia juga mengaku bahwa potensi korupsi bisa terjadi pada anggaran pembelian alutsista yang setiap tahunnya menjadi Renstra TNI dan Kementerian Pertahanan. Al Araf beralasan adanya pihak broker yang selama ini ikut dalam proyek alutsista.

Sebenarnya, lanjut dia, KPK bisa masuk ke Peradilan Militer untuk mengusut skandal korupsi di sektor pertahanan. “UU KPK itu Lex specialist dibandingkan UU Peradilan Militer,” ujarnya. “Tapi, alasan KPK tidak masuk karena bukan yurisdiksinya, ya sudah.”

Karena itu, Imparsial mendesak DPR untuk melakukan revisi UU Peradilan militer. Tapi, Al Araf berkeyakinan 10-15 tahun ke depan, revisi ini tidak akan terjadi. Karenanya lebih baik KPK menggunakan UU-nya saja.

Hal senada diungkapkan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto. Dia menilai KPK belum berbuat banyak dalam pengusutan kasus korupsi di ranah militer. KPK hanya memberikan angin surga saja. Pernah ada pernyataan mau usut kasus di bidang militer. Tapi sampai habis masa kepemimpinan Abraham Samad, ternyata janji hanya janji.

Menanggapi hal itu, Komisioner KPK Saut Situmorang mengatakan, pihaknya selama ini sudah berusaha mengawasi militer dengan adanya Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan pengendalian gratifikasi. Selama ini, LHKPN panglima tidak pernah ada yang melapor. Tapi, kini Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah menyerahkan LHKPN.

Ihwal revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Saut mengaku setuju. Namun, dengan peraturan seperti saat ini, dia mengatakan, dirinya tidak mau bertindak apabila konsekuensinya ada bentrok antara UU yang satu dengan yang lain. “Mereka (TNI) kan juga punya UU. Jadi, tidak bisa bertindak langsung. Kepala harus dingin,” kata Saut.

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.