Koalisi gerakan buruh dari berbagai aliansi menolak keras Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Penolakan tersebut ditunjukkan buruh dengan melakukan aksi demonstrasi yang berujung pada kekerasan. Itu untuk mendesak pemerintah agar segera mencabut peraturan tersebut.
Koordinator Federasi Serikat Buruh Logam Elektronik Mesin, Heri Hermawan, mengatakan peraturan tentang pengupahan yang telah dikeluarkan pemerintah pada 23 Oktober lalu sangat merugikan kaum buruh. Pasalnya, PP pengupahan berdampak pada perlambatan dan stagnansi kesejahteraan para buruh.
“Ada lima provinsi dari tujuh provinsi yang sudah memutuskan besaran upah minimum provinsi 2016. Upah minimum di lima provinsi itu pada tahun depan dipastikan tidak berubah atau terlambat dalam proses kenaikannya. Hal tersebut berdampak pada daya beli buruh atau upah riil yang semakin merosot,” kata Heri ketika ditemui di Jakarta, Senin (2/11).
Menurut dia, adanya PP pengupahan membuat buruh semakin miskin. Sebab, kenaikan upah yang diatur dalam PP tersebut mengakibatkan tidak sebandingnya antara kenaikan upah dengan kenaikan lonjakan harga-harga kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi buruh setiap harinya. “Ini tentu akan semakin memiskinkan buruh. Di lain sisi, kekayaan semakin sulit didistribusikan.”
Dia menjelaskan, ada beberapa alasan bagi buruh menolak keras PP pengupahan yang dikeluarkan pemerintah. Pertama, pasal 44 yang menyatakan kenaikan upah berdasarkan formula inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Peraturan itu bertentangan dengan amanah Undang-Undang Ketenagakerjaan pasal 88 ayat 4, bahwa penetapan upah minimum ditentukan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dan memperhatikan pertumbuhan dan produktivitas kerja.
Kedua, kenaikan upah berbasis formulasi tetap (inflasi dan pertumbuhan ekonomi) telah menutup peran dan ruang bagi Dewan Pengupahan dalam menentukan upah minimum sesuai KHL yang di dalamnya termasuk juga perwakilan serikat pekerja atau buruh.
Ketiga, pasal 49 di PP pengupahan yang mengatur kebijakan upah minimum sektoral telah mereduksi pasal 89 ayat 1 di Undang-undang Ketenagakerjaan. Bahwa penetapan upah minimum ditetapkan oleh Gubernur setempat, namun dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan.
“Kebijakan pemerintah mengeluarkan PP pengupahan menunjukkan pemerintah tidak serius melindungi buruh. Sebab, jika dilihat secara keseluruhan di PP tersebut, sangat jelas sekali keberpihakan pemerintah hanya kepada para pengusaha. Karena itu, kami mendesak pemerintah untuk segara mencabut PP pengupahan dan batalkan upah mínimum yang sudah ditetapkan untuk 2016 yang berdasarkan PP tersebut,” kata Heri.