Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta kurag tegas menjalankan mandat Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005, khususnya ihwal uji emisi kendaraan bermotor dan pengembangan bengkel kendaraan bermotor yang ramah lingkungan.
“Iya, walau ada perda. Dinas terkait kurang tegas dalam menerapkan peraturan tersebut. Bahkan terkesan diabaikan. Jadi, BPLHD harus tegas menjalankan perda tersebut,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Puput TD Putra di Jakarta.
Dia menjelaskan bahwa BPLHD Jakarta sudah pernah melakukan uji emisi kendaraan bermotor pada 2010. Akan tetapi sampai saat ini pengujian itu belum pernah dilakukan kembali. Berdasarkan catatan BPLHD, ada 19.586 unit kendaraan bermotor melakukan uji emisi. Dari 19.586 unit, 97% di antaranya lulus uji emisi dan 3% kendaraan tidak lulus uji emisi.
“Kendaraan yang sudah melakukan pengujian mendapat tanda stiker selesai uji emisi,” ujarnya. Dia menambahkan, dinas terkait perlu melakukan edukasi kepada masyarakat dan pemilik bengkel atas pentingnya uji emisi kendaraan bermotor. Bahkan perlu pengawasan yang ketat terhadap bengkel agar menjalankan peraturannya.
Bagi bengkel yang memenuhi standar lingkungan, tambah Puput, akan diberikan penghargaan. Begitu pula sebaliknya. Penghargaan itu seperti sertifikat bengkel ramah lingkungan. Namun, apabila bengkel tersebut tidak bisa mempertahankan kualitas standarnya, hukumannya adalah sertifikasi bengkel ramah lingkungan dicabut kembali.
Puput menjelaskan bahwa lalu lintas kendaraan bermotor di Jakarta setiap hari kian macet, nyaris di semua wilayah Jakarta. Karena itu, perlu langkah awal yakni semua kendaraan wajib diuji emisi buangan setiap enam bulan sekali. Hal itu dilakukan karena pencemaran udara di perkotaan merupakan permasalahan yang serius.
“Peningkatan penggunaan kendaraan bermotor dan konsumsi energi di kota-kota, jika tidak dikendalikan, akan memperparah pencemaran udara. Kemacetan dan dampak perubahan iklim yang menimbulkan kerugian kesehatan, produktivitas, dan ekonomi bagi negara,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaksanakan kegiatan Evaluasi Udara Perkotaan (EKUP) sebagai pelaksanaan dari Program Langit Biru dan Transportasi Berkelanjutan. Evaluasi udara telah dilaksanakan pada tahun 2007 2008, 2011, 2012, 2013 dan 2014 di 44 kota. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan indikator teknis, misalnya soal uji emisi kendaraan di kota-kota yang dinilai. Kalaupun ada aspek manajemen yang dinilai, juga pada sistem manajemen untuk menunjang aspek teknis tersebut dapat terlaksana. Akan tetapi, Kementerian Lingkungan mengabaikan faktor lain seperti kebakaran hutan dan lahan yang justru menjadi kontributor terbesar pencemaran udara.
Walhi menilai evaluasi pemerintah tersebut berbasis proyek sehingga tidak dapat menjangkau akar masalah lingkungan hidup yang sesungguhnya. Dan lagi-lagi Kementerian Lingkungan juga melihat problem lingkungan hidup masih sektoral atau sempit, termasuk dalam penilaian kualitas udara juga tidak imparsial.
Sebagai sebuah proyek, Puput menambahkan, penilaian atau penghargaan seperti ini semestinya dievaluasi. Sebab, faktanya sejak tahun 1996 program langit biru ini dijalankan, kualitas udara justru semakin memburuk. Jika pun khusus pada sektor transportasi, pemerintah tidak pernah punya kebijakan yang fundamental untuk membenahi transportasi publik. Yang terjadi adalah terus memfasilitasi kendaraan pribadi dengan membangun jalan tol dan lain-lain.