Sabtu, Desember 7, 2024

Bincang Buku: Bung Karno di Mata Generasi Millenal

- Advertisement -
Mochamad Nur Arifin dan Tsamara Amany berfoto bersama para peserta bincang buku “Bung Karno “Menerjemahkan” Al-Quran (15/8).

Kemarin (15/8), Warung Sejarah RI dan Komunitas Gerbang Sejarah menyelenggarakan Bincang Buku: Bung Karno “Menerjemahkan” Al-Quran” yang diterbitkan oleh Mizan di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tema yang diangkat dalam acara bincang buku tersebut adalah “Bung Karno di Mata Generasi Millenial”. Dalam acara bincang buku tersebut, hadir dua tokoh politik muda Indonesia, yaitu Mochamad Nur Arifin, selaku penulis buku sekaligus Wakil Bupati Termuda di Indonesia yang kini memimpin Trenggalek dan Tsamara Amany, yang populer lantaran memulai karier politiknya di usia yang sangat muda—21 tahun.

Keduanya, baik Mochamad Nur Arifin dan Tsamara Amany, sama-sama sepakat mengajak anak muda Indonesia untuk tak sekadar bicara soal Indonesia—mengkritik, memberi saran, dll—tetapi juga bergerak melakukan sesuatu yang mereka bisa untuk Indonesia.

Sebagai Sukarnois muda, di hadapan tiga ratusan peserta dari berbagai latar belakang: mahasiswa, pejabat, hingga mantan duta besar Indonesia—keduanya mengawali diskusi dengan orasi kekagumannya pada Bung Karno. Gus Ipin, sapaan akrab Mochamad Nur Arifin, yang bahkan dari segi fashion dan gaya orasi mengingatkan kita pada Bung Karno itu, menegaskan bahwa gagasan-gagasan dan pergerakan Bung Karno dulu dianggap omong kosong. Namun, melalui semangat dan kerja keras, ia buktikan bahwa apa yang ia omongkan adalah sebuah cita-cita, sebuah misi. Sementara, Tsamara menegaskan kekagumannya pada Bung Karno merupakan sosok revolusioner dengan gagasan-gagasan cemerlang.

Gus Ipin mengurai bahwa kata “menerjemahkan” di judul bukunya itu memang kadang kali menuai tanya: “Apa Bung Karno ahli Quran?” Karenanya, untuk menghindari misperception, berkali-kali dia jelaskan bahwa kata “menerjemahkan” di situ bukan berarti bahwa Bung Karno adalah ahli tafsir maupun seorang penerjemah Al-Quran, melainkan berarti upaya Bung Karno dalam menjadikan nilai-nilai qurani sebagai basis ideologi pergerakannya. Oleh karena itu ia bubuhi tanda petik dalam kata menerjemahkan di judul bukunya itu.

Sebagaimana diurai oleh Gus Ipin dan Tsamara dalam diskusi, di dalam buku itu pembaca akan dapat menjumpai bahwa betapa ide-ide Bung Karno sangat sejalan dengan Al-Quran: dari Pancasila sampai Trisakti. Oleh karena itu, buku ini merupakan jawaban yang mungkin tepat bagi orang-orang yang meragukan keislaman Bung Karno dan Pancasila sekaligus.

Sementara, menurut Tsamara, Bung Karno memiliki paradigma keislaman yang sangat relevan untuk saat ini. Pertama, agama yang menengahkan kemanusiaan. Kedua, agama sebagai mesin ideologi pergerakan. Ketiga, agama yang anti takfirisme (suka mengkafirkan yang lain). Terakhir Islam sebagai ajaran yang menjunjung tinggi kesetaraan. Oleh karena itu, tegas Tsamara, lahirnya buku Bung Karno “Menerjemahkan” Al-Quran merupakan sebuah upaya yang tepat untuk mengawali kesadaran tentang bagaimana Islam ditermahkan secara substantif.

Di akhir acara, seorang penanya bertanya tanggapan Tsamara tentang Bung Karno yang berpoligami. Tsamara menjawab dengan meneguhkan prinsip kesetaraan gender bahwa dia secara pribadi tak setuju terhadap poligami yang dipraktikkan Bung Karno. Dia menyebutkan bahwa dalam buku Bung Karno berjudul Sarinah terdapat nilai-nilai kesetaraan yang dapat kita pelajari.

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.