Wali Kota Bogor Bima Arya menerbitkan Surat Edaran No. 300/321-Kesbangpol yang melarang perayaan Asyura bagi penganut Syiah di Kota Bogor. Alasan Bima Arya mengeluarkan Surat Edaran yang diteken pada 22 Oktober 2015 itu demi menjaga ketertiban dan keamanan serta mencegah konflik sosial.
Menurut Raja Juli Antoni, Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), penerbitan surat edaran itu inkonstitusional. “Negara kita dibangun atas spirit keberagaman. UUD 1945 menjamin seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, untuk meyakini dan melaksanakan ajaran agama mereka. Ini hak dasar warga negara yang tidak boleh diutak-atik. Negara justeru semestinya hadir melindungi hak warga negara ini,” kata Antoni.
Lebih jauh Antoni menegaskan, pendekatan “keamanan” yang diambil Bima Arya menjadi preseden buruk di mana sekelompok orang dapat merampas kebebasan beragama dan berkeyakinan kelompok lain melalui legitimasi negara. Dia tak menepis bahwa mengelola masyarakat majemuk tentu saja tidak mudah. Tapi negara tidak boleh kalah oleh kelompok mana pun dalam menegakan konstitusi.
“Mencegah konflik sosial memerlukan keahlian resolusi konflik. Perlu digelar dialog dalam kerangka kebhinekaan. Perlu waktu dan kesabaran. Paling mudah memang dengan menerbitkan semacam surat edaran itu, tapi tidak mendidik dan berdampak negatif untuk masa depan.”
“Bima Arya sedang mempertontokan ketidakmengertiannya mengenai konstitusi, ketidakpahamannya mengenai prevensi konflik sosial, dan kemalasannya memfasilitasi dialog,” ujar Antoni.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Imdadun Rahmat mengatakan, Wali Kota Bogor Bima Arya menyalahi aturan konstitusi dan norma-norma hak kemerdekaan, keberagaman dan berkeyakinan, termasuk momen hari hari raya yang tidak dapat dipisahkan dari warga negera.
Alasan Bima, tambah Imdadun, terlalu mengada-ngada. Imdadun menilai mereka (Syiah) tidak melanggar ketertiban umum, sebab hak mereka untuk merayakan hari raya. Saat ditanyakan apakah Bima Arya tidak memahami konstitusi yang menjamin warga negera untuk berkeyakinan, Imdadun mengatakan tidak tahu. “Saya tidak tahu atau ada tekanan dari orang lain. Masak tokoh muda seperti Bima Arya tak tahu soal itu. Ini sangat mendasar,” katanya.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, ada beberapa kasus soal regulasi pemimpin daerah terkait hak berkeyakinan dan keberagaman agama yang bertentangan dengan konstitusi. Contohnya, peraturan Gubernur Jawa Barat tentang Ahmadiyah yang dinilai offside. Kemudian peraturan Gubernur Aceh ihwal pendirian rumah ibadah. “Ini menandakan pemimpin daerah tidak bervisi keberagaman dalam beragama.”
Karena itu, Komnas HAM meminta Wali Kota Bima Arya untuk mencabut surat edaran pelarangan merayakan hari Asyura. “Kami sudah buat surat kepada Bima Arya. Kalau tidak patuh, kita tegur lagi dan publikasi kepada publik. Kami juga serahkan suratnya kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menindak pemimpin daerah. Sebab, kami tidak bisa menghukum,” ucap Imdadun.