Koaliasi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan peningkatan anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2015 tidak sebanding dengan penyerapan anggarannya. Hal ini akan berpotensi terjadinya penyimpangan di KKP apabila tidak ada pengawasan yang ketat di akhir penutupan anggaran pemerintah.
“Dalam tempo dua bulan, pemerintah harus menghabiskan anggaran KKP sebesar 66% dari Rp 10,5 triliun. Hal ini akan berpotensi disalahgunakan jika tak ada pengawasan ketat. Perlu ada akuntabilitas dan transparansi anggaran dalam melaksanakan program itu,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim di Cikini, Jakarta, Senin (2/11).
Dia menjelaskan, jika pemerintah tidak melakukan pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin sisa anggaran di akhir tahun disalahgunakan oleh oknum tertentu. Karena itu butuh juga kecerdikan pemerintah agar anggaran tersebut diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat lintas profesi nelayan: nelayan tangkap, nelayan pembudidaya, petani tambak.
Berdasarkan data Kiara, KKP baru menyerap anggaran sekitar 44% dari anggaran 2015 Rp 10,5 triliun. Karena itu, untuk menyerap anggaran yang optimal dengan waktu minim, pemerintah harus mengalokasikan anggaran sesuai dengan rencana program pemerintah, terutama bagi masayarakat nelayan lintas profesi.
Selain itu, dia juga menyoroti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Dengan pemberlakuan aturan ini, seharusnya KKP memberi solusi kepada nelayan, seperti melakukan pengalihan alat tangkap ikan pukat hela ke alat tangkap ramah lingkungan di daerah-daerah. Dengan adanya bantuan pengalihan itu, nelayan masih bisa bekerja sehingga tidak terjadi pengangguran.
“Menteri Susi seharusnya mengalokasikan anggaran alat tangkap ikan yang ramah lingkungan untuk Dinas KKP di daerah. Dengan begitu, mereka yang di daerah dapat menggunakan anggaran tersebut untuk membantu nelayan. Dinas daerah mau mengalihkan alat tangkap, tapi mereka tidak punya alokasi anggaran. Ini yang menyebabkan kapal nelayan tidak bisa beroperasi hingga saat ini,” kata Halim.
Dia menjelaskan, permen itu menyebakan sekitar 3.500 anak buah kapal (ABK) di Jawa Tengah tidak dapat bekerja. Bahkan ABK ada yang beralih profesi menjadi penjual mie ayam. Karena itu, Kiara mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan.